Judul Cerpen: Science Club & Band
Penulis Cerpen: Sayyidah Zahratul Aulia
Kategori: Cerpen Remaja
Dadaku bergemuruh. Sorakan mereka melebihi yang kukira. Aku kembali tersenyum. Gitar yang kupangku menjadi saksi bisu betapa kerasnya latihanku selama sebulan terakhir. Aku berhasil mengubah iringan amatir menjadi lebih indah dan menantang. Saat turun dari panggung, aku menemukan seseorang yang sepertinya sudah menunggu dari tadi.
Beberapa menit lalu, aku tersenyum di atas panggung. Pensi yang meriah ini sedang dipenuhi sorakan dan tepuk tangan murid-murid. Teman-teman band-ku tertawa senang dan memberi kode, hendak menyanyikan lagu kedua. Masih dengan lampu menyorot panggung, kami bernyanyi diiringi suara gembira penonton yang berjingkrak-jingkrak.
Aku membalas senyuman lebar rekan-rekan band-ku. Mereka sungguh puas dengan penampilan barusan. Aku masih berada di samping panggung ketika teman-teman kembali ke bangku penonton. Ada seseorang yang menarik perhatianku.
Kulirik laki-laki berjaket coklat dengan rambut hitam legam yang sedang menunggu sesuatu (atau seseorang). Dia tak sedang menungguku, tentu saja. Dia tersenyum saat Naura, si drummer band, menghampirinya, menceritakan pengalamannya di atas panggung tadi. Wajah gadis itu tampak sangat berseri ketika menceritakan antusiasme penonton saat menonton pertunjukan kami.
Aku terkesiap, baru ingat bahwa gitarku masih belum diberi “baju”. Kulambaikan tangan pada Salsa dan Dewi yang menunggu sejak aku menatap Yadha. Aku menyengir dari kejauhan, langsung menyusul mereka begitu kugendong ransel di punggung.
Pensi masih belum berakhir. Kami kembali ke kursi penonton, menyaksikan penampilan berikutnya. Tak heran bila penampilan para siswa sangat menakjubkan. Baru sehari sejak pengumuman diadakannya pensi, seluruh siswa sudah menyambut antusias. Beberapa diantaranya sengaja mengorbankan jadwal ekstrakulikuler untuk berlatih, termasuk aku.
Kursi yang kosong di sampingku tiba-tiba terisi oleh beberapa anak laki-laki. Dari ujung mata, kupastikan itu adalah Yadha dan teman-temannya. Aku mencondongkan kepala pada Dewi, berpura-pura mengomentari penampilan klub dance. Saat kembali ke posisi semula, aku sudah kehilangan akal agar tak salah tingkah dan mulai merutuki diri sendiri.
“Penampilanmu bagus.”
Aku menoleh sedikit, memastikan yang berbicara barusan adalah Yadha. Aku mengangguk pelan. Senang rasanya dipuji seperti itu.
“Aku tak menyangka kau bisa melakukannya,” Yadha nyengir. Aku menahan gugup dan membalas cengirannya. “oh iya, kau harus ngebut, mengejar ketertinggalanmu di klub yang kau tinggalkan.”
Kali aku aku benar-benar gugup terutama saat kulihat ketua klub sains itu tersenyum. “Iya. Pasti akan kukejar.”
“Hari ini aku membawa kumpulan soalnya. Kau bisa mengerjakannya kalau mau.”
“Jangan sekarang. Pensinya sayang kalau dilewatkan.”
Kami tertawa. Aku mengulas senyum tipis setelah menyadari betapa banyaknya ketertinggalanku di klub. Banyak berkas soal latihan yang harus dikerjakan untuk menghadapi lomba seminggu setelah pensi. Aku melirik gitarku. Ini semua gara-gara kau, geramku. Penyesalan benar-benar muncul di belakang. Aku merutuki diri sendiri karena waktu latihanku untuk lomba sains tinggal seminggu.
Lampu sorot tak sengaja membuat mataku berkunang ketika belasan model berlenggok di karpet merah yang membentang sampai tangga panggung. Yadha nyengir kecil ketika memperhatikan ekspresiku. Mataku mengerjap cepat, mengembalikan pandangan yang sempat kabur.
“Tiba-tiba aku jadi ingin masuk klub musik.”
Kalau saja aku sedang meneguk minuman, pasti sudah kusemburkan tepat ke wajahnya. Aku melotot tertahan, menyorotinya dengan tatapan tak percaya. “Apa? Memangnya kau bisa?” Tanyaku setengah merendahkan setengah terkejut. Sebagai senior dua tahun di klub musik, aku sangat meragukan Yadha yang biasanya berkutat dengan fisika dan hitungan walau saat pertunjukan bakat di kelas dia bisa memainkan gitar dengan cukup baik.
Yadha tertawa. Suaranya masih kalah jauh dengan suara drum yang memekakkan telinga. Ia mencondongkan wajahnya, ingin suaranya terdengar jelas di telingaku. “Kalau aku mau, memangnya siapa yang bisa mencegah?”
Aku mengangkat sebelah alis. “Mustahil, Yadha. Mustahil.” Aku menggeleng pelan.
“Aku bisa bermain gitar.”
Aku tertawa. “Tidak mungkin. Kau tak bisa bermain gitar,” Tegasku.
“Bisa. Aku bisa.”
“Tidak bisa.”
Yadha mulai tersinggung karena aku terus merendahkannya. “Aku serius. Aku bisa bermain gitar. Lihat saja nanti.” Katanya.
Aku juga serius, batinku.
Yadha mengalihkan pandangannya ke atas panggung. Aku menghela napas. Rasa canggung mulai menyelimuti kami. Aku memutar bola mata ketika Yadha pergi ke belakang panggung setelah Aaron memanggilnya. Kulihat ada beberapa anak klub sains yang berkerumun di dekat panggung. Aku menyipit, melihat pemandangan itu dengan tatapan heran. Aku langsung terloncat kaget ketika seseorang mencolek bahuku.
“Salsa, kau tak kesana?”
Dewi membuatku makin bingung. Dia juga anak klub sains. Aku yakin dia akan menyeretku ke sana sebentar lagi. Tunggu. Apa hanya aku yang tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi?
Beberapa anak sudah siap di panggung dengan alat musik masing-masing. Drum, bass, gitar, dan keyboard. Aku terperangah. Wajah-wajah itu sangat mustahil bisa ada di panggung dengan alat band. Aku menoleh pada Dewi. Anak itu bertepuk tangan dengan kencang. Alunan lagu yang cukup bersemangat membuat anak-anak lain mendekat ke panggung.
It’s hard to see the enemy
When you’re looking at yourself
Maybe your reflection shows you
Screaming out for help
Aku menggigit bibir. Yadha menatapku yang berada di bawah panggung. Sudah beberapa menit sejak aku ternganga tidak percaya pada sekelompok anak laki-laki klub sains yang memainkan musik di atas sana. Dan salah satunya adalah Yadha. Vokalnya tak bisa diremehkan padahal dia juga harus berkonsentrasi pada gitar listrik yang ada di tangannya. Aku berteriak dalam hati. Setelah turun dari panggung pasti dia akan merecokiku.
We’re not done till we say it’s over
We won’t fade away
Aku diam sambil mengamati penampilan teman-teman klub sains. Yadha tertawa sambil terus mengendalikan suaranya. Ini adalah sorakan teramai yang pernah kudengar di pensi. Dewi bertepuk tangan, menyenggol lenganku ketika melihatku terbengong saja dengan penampilan mereka.
Oh the sun will rise
Tomorrow never dies
Gara-gara mereka, aku jadi tak mau menatap mata Yadha. Ketua klub sains itu sedang bertos ria dengan teman-teman band-nya tepat di hadapanku. Joan tersenyum padaku, menyebarkan rasa bangganya di atas nama klub sains kami. Yadha menatapku. Tatapan yang kuartikan sebagai tatapan kemenangan. Aku tersenyum kecut, lantas menatap bangga pada band klub sains.
“Kalian hebat.”
Teman-teman kembali ke bangku penonton, menyisakanku dengan Yadha berdua di belakang panggung. Suara bentakan aktor drama di panggung membuatku tak bisa mendengar ucapan Yadha. Kami tertawa kecil entah karena apa. Kuperhatikan gerak-gerik mulutnya. Sepertinya Yadha benar-benar ingin berbicara.
“Bagaimana kalian bisa menyelesaikannnya dengan baik?” Aku melirik Naura sekilas. Dia sudah berada di dekat panggung daritadi untuk menunggu Yadha. “Naura mencarimu.”
Yadha menoleh, mengisyaratkan Naura untuk menunggu dan membiarkan kami bicara. “Kami berlatih lebih lama dari yang dikira siapapun. Tak ada bolos klub, apalagi meninggalkan tugas. Kau tak perlu percaya pada yang kami lakukan. Cukup dengarkan, lihat, dan rasakan. Nanti juga kau akan mengerti apa yang mustahil bisa jadi kenyataan.” Laki-laki ini bersedekap bangga.
Aku nyengir kuda diiringi rasa malu. “Daritadi kau tampak menyindirku.”
Aku adalah satu-satunya anak klub sains yang bisa bermain musik dengan baik. Tapi sekarang teman-temanku telah mendobrak kemampuan mereka.
“Bagaimana dengan lomba sains? Kau tertinggal jauh di klub.” Kali ini Yadha menatapku serius. Otomatis aku mengalihkan pandangan, berpikir. Bagaimana bisa aku mempelajari semua materi dalam satu minggu?
Melihatku yang tak kunjung menjawab, Yadha menghela napas.
“Sebaiknya aku memberitahumu. Besok kami ke rumahmu untuk belajar bersama,” katanya. Aku mengangkat wajah. Kenapa harus di rumahku? “Rumahmu yang paling banyak menyimpan buku-buku yang kita perlukan. Kita akan saling membantu di sana. Jadi jangan sia-siakan kesempatan ini.”
“Iya, Pak Ketua.” Aku berlalu dari hadapan Yadha karena Dewi menyeretku ke bazar makanan. “Jangan lupakan bakat terpendammu itu. Kau bisa masuk klub musik kalau kau mau!”
Yadha tertegun di tempatnya. Aku memang ketua panitia perekrutan anggota baru klub musik. Siapapun yang berhak, ingin, dan berbakat, bisa kuseret langsung ke dalam klub kami. Yadha masih bergeming. Dewi makin menyeretku jauh. Bisa kulihat raut wajah Yadha yang berubah. Makin cerah, sumringah.
Nama Penulis : Sayyidah Zahratul Aulia
FB : Aulia Zahra
IG : @sayyidah_zahraulia
E-mail : sayyidahzahratul@gmail.com