Jeritan demi jeritan familiar menggema di antara deretan rumah kayu reot di sisi sungai keruh berbau busuk. Orang-orang yang sibuk dengan hidupnya sendiri, tak bergeming karena suara itu sudah bagai lagu pembuka malam yang rutin mereka dengar setiap hari. Ada yang bemain catur di pos ronda, ada yang meminum kopi di depan layar kaca, sambil menoton bocah-bocah kaya yang tak ada kerja lain selain saling memukul atau saling mengejar di jalanan.
Di sebuah rumah petak beratap asbes seorang bocah kurus menggulung tubuhnya di kolong meja dapur. Tangannya yang gemetar mengusap pelan betis kecilnya yang berbilur dan baret. Di depannya seorang bocah perempuan kucel terdiam sambil menunduk ketakutan.
“Dek! Pergi sana! Nanti kamu juga kena. Kamu masih kecil.” Bisik si bocah memajukan sedikit kepalanya.
“Bang, kakinya Mira tiupin ya. Abang besok gak bisa jalan kalau sakit gitu.” Jawab adiknya mengacuhkan perintah Si kakak.
“Yang ini gak perih kayak kemarin, dek. Lumayan aja. Abah mukulnya mendingan kalo pake centong kayunya emak.” Ucap Si Kakak sambil meringis saat menyentuh betisnya yang berwarna-warni.
Adiknya menggeleng lemah. “Mira kemarin diiket rapia sama Abah bang. Mira gak boleh keluar.”
Krriieeeet….
Kakak adik itu tersentak bersamaan. Si adik sontak komat-kami membaca do’a sebelum makan karena hanya itu do’a yang di ajarkan abahnya. Kakaknya merapatkan tubuhnya ke ujung gelap kolong meja.
Ada sepasang sandal jepit butut yang berhenti tepat di depan mata si adik yang tengah merunduk gemetaran.
“Mira! Abangmu mana?” bentak suara baritone kasar pada bocah itu.
“Gak ada, abah.” Jawab Mira gemetar.
aabangmu itu tak patut kau tiru, difikir uang itu jatuh dari langit! Seenak jidatnya pakai beli bundelan kertas-kertas itu!” geram abahnya.
“Itu buku, bah. Kami belajar baca dari anaknya pak Karim. Kata mpok Resti, kalo pinter, Mira bisa kaya nanti.” Ucap si bocah takut-takut.
“Alaaahh! Si Resti itu salah. Kau kaya itu kalo kau nanti jadi istri cukong yang bangun gedung-gedung mewah itu.” Bantah abahnya kesal.
Truk!
Suara dari kolong meja membuat si Abah tersenyum keji. “Arif! Kau nurutlah pada abah. Jadi besok abah bisa usap-usap rambutmu dengan sayang.”
Arif membeku ketakutan. Adiknya terisak dengan panik. “Kaki bang Arif berdarah, Bah. Jangan di pukul lagi. Besok abang gak bisa jalan buat jual Koran. Rumah bos Hendar kan jauh, bah.” Rengek Mira memohon belas kasihan pada Abahnya.
Abah gila itu mengangguk-ngangguk menghitung uang yang bisa di bawa bocah kurusnya jika kakinya kesakitan.” Istirahat sana! Besok kau bangun subuh. Tak ada makan kalau tak ada rokok buat abah.” Ucap si Abah gila lalu pergi sambil tergelak.
Arif berbisik setengah putus asa pada adiknya.” Dek, kita pergi ya. Kita ke rumah mpok REsti biar kita di bawa ke pak polisi.”
Mira mengangguk gugup.
Bocah kurus itu meringis kesakitan saat menggusur kaki warna-warninya melewati pintu rumah reot mereka. Mira memegang ujung baju kucelnya dengan pucat. Mereka berjalan mengendap-ngendap melewati kamar ayah mereka yang tengah mendengkur.
Tengah malam buta, dua orang bocah dengan luka di hidupnya, berjalan berangkulan menuju rumah tembok di ujung gang. Si adik yang pendek, menopang tubuh jangkung sekurus tulang rangka kakaknya sambil berjalan terengah. Si kurus yang usianya lebih besar, mengatupkan rahangnya penuh tekad. Dia akan melindungi satu-satunya harta yang dia punya. Mira.
Si kurus Arif tahu, hidupnya miskin dalm segala hal. Tak ada ibu yang akan memeluk dan membela di hidup mereka. Ibu mereka pergi entah kemana. Dulu ibunya yang kurus beruban itu sering teriak-teriak, kalau dia bosan miskin, dia ingin makan kenyang, dan juga ingin memakai gelang rantai seperti ibu-ibu lainnya.
Arif tahu, Mira tak di pukul bukan karena abahnya pilih kasih, tapi lebih pada abahnya tak ingin ada lecet di bocah cantik dengan kulit mulus itu nantinya. Mira itu cantik, abahnya bilang Mira bisa bawa uang nantinya.
Dua bocah itu berhenti dengan gelisah di depan sebuah rumah dengan pohon mangga gundul di halamannya. Arif menggusur kakinya lebih cepat kearah pintu.
“Pak karim! Buka, pak! Tolong kami!” teriak Arif dengan suara seadanya.
Pintu kayu berpelitur itu terbuka, seorang pria berkumis dan berambut putih keluar lalu terperanjat kaget.” Astagfirullah…”
Di depannya, ada dua bocah yang terlihat menyedihkan. Yang perempuan matanya sembab dengan rambut keriting kusut dan tak terurus. Lalu bocah laki-laki dirangkulannya dengan bibir sedikit sobek dan mata menyipit karena bengkak.
Arif tersenyum sedikit kearah paka karim.”Tolong antar kami pergi, pak. Di TV, pak polisi katanya bisa bantu kami.”
Pak Karim mengangguk lalu cepat menggendong bocah kurus berusia dua belas tahun itu ke dalam rumah. Tak lama berselang, terdengar suara isakan iba lainnya di dalam rumah itu.
Arif yang tak bisa berjalan lagi, akhirnya membuat pak Karim bergegas menelfon ambulan. Biarlah uang tabungannya ludes, asal dua bocah naas itu selamat dan cepat di tolong. Pak Karim merasa sangat tak berguna karena tidak bisa mencegah bocah-bocah baik hati itu di lukai.
“Kenapa kalian gak minta tolong tetangga?”Tanya Resti sedih.
“Tetangga suka nonton, mpok. Mereka takut di golok abah. Abah itu dulu preman sohor.” Jawab Arif lemah.
“Mpok, boleh minta tolong?”Tanya Arif ragu-ragu.
Resti mengangguk. “Boleh banget, Rif. Kamu mau apa?”
“Abis pak Polisi tolong kami, bawa Mira ke panti asuhan ya. Arif udah liat, disana anak kayak Mira bisa makan, belajar, tidur di kasur.” Ucap Arif sambil tersenyum sendu.
Resti tersentak bingung.”Emang arif mau kemana?” Tanya gadis SMK itu was-was.
Arif hanya tersenyum lalu menggeleng lemah.”Arif numpang tidur ya, mpok. Kepala Arif pusing. Tadi abah jedotin ke meja dapur”ucap Arif semakin melemah.
Resti sontak menangis kencang mendengarnya. Betapa hidup begitu kejam bagi dua anak asuhnya itu. Bukan resti ingin mengumpati takdir, tapi baginya sungguh terasa menyakitkan karena dua bocah yang bahkan belum akil baligh itu harus mengalami cobaan seberat ini.
Dia malu, hanya bisa berkoar-koar dan memasang status saja di dunia maya dan sok menyuarakan hukum,hak, dan segala hal, tapi ternyata di dunia nyata dia malah cuma diam bagai orang tolol yang tak punya nurani.
Arif tertidur,dan Resti mengusapi rambut lembab bocah itu dengan hati perih.
Beberapa menit berselang, Resti tersentak saat menyadari sesuatu. Tidak ada tarikan nafas dari bocah yang tengah tidur itu. Dengan panik dan gemetar, Resti meletakkan kepalanya di dada Arif.
“Ariiiiif!! Ya Allah! Arif bangun, dek! Astagfirullah…Ayaaahh!! Arif gak ada nafasnya, yaaah! “ Resti menjerit histeris pada ayahnya yang langsung berlari masuk dengan ketua RT dan RW yang baru di jemputnya.
“Astagfirullah…bangun, nak! Ya Allah..” Pak Karim terisak sedih sambil berusaha menggoyangkan tubuh bocah yang terbaring itu.
“Bang Arif kenapa, Mpok?”Tanya suara polos di antara isakan-isakan kecil yang keluar dari mulut bocahnya.
Resti manatap nanar kearah Mira. Bahunya berguncang menahan jeritan sedih yang hampir di ledakkannya. Resti menggeleng. Dia tidak mau perkiraannya benar. Karena kalau begitu, maka gagal lah dia sebagai seorang guru dan manusia.
“Innalillahi.. wa inna ilaihi raaji’un. Arif sudah meninggal, Mir.” Pak Karim menggigit bibirnya yang gemetar menahan tangis dan rasa marah.
Resti menjerit menubruk tubuh kurus yang sudah tak bernyawa itu. Mira yang kecil, hanya terdiam bingung sambil memandangi jasad kakaknya yang akan mulai mendingin.
“Pak Rt! Kita kepung rumah Bah Raskum! Jahanam itu harus membayar kejahatannya. Saya sudah telefon polisi dan sedang dalam perjalanan.”
Beberapa menit kemudian, Abah Arif di tarik dengan kasar ke kantor polisi. Pak Karim yang murka, memukulnya hingga berdarah sebelum di tahan warga.
Jasad Arif akhirnya di bawa untuk di autopsy. Hasilnya diketahui bahwa ada pendarahan parah di beberapa organ dalamnya. Bahkan kepala kecil bocah cerdas nan baik hati itu, mengalami retak dan gegar otak. Resti semakin histeris saat tahu malam itu, ternyata Arif datang ke rumahnya dalam keadaan sekarat.
Mira akhirnya tak jadi di bawa ke panti. Pak Karim yang baik hati, mengangkatnya sebagai anak dengan suka hati. Pak Karim rela menempuh proses yang cukup rumit untuk bisa mengalihkan Mira menjadi anggota keluarganya secara sah dan legal di mata hukum. Dia tak akan rela jika harus ada Arif yang lainnya.
Terlebih itu Mira, harta terakhir dari bocah sehebat Arif.
End.
Cerpen Bocah Warna Warni adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Keluarga. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.