Lihat ombak yang bergelombang, selalu menghasilkan riak yang tidak bisa dibendung.
Pasir yang mendesir tak terdengar oleh telinga, karena dilebur oleh deru ombak begitu angkuh selalu menerkam.
Goncangan akibat derunya, tak lagi dapat dielakkan.
Ombak menghempas apapun yang ada di muka.
Malam berganti siang, siang berganti malam. Namun ombak terus saja menderu tak kenal lelah.
Wahai Sang Ombak. Engkau bagai penasehat bagi yang pupus harapannya.
***
Hidup haruslah penuh perjuangan, namun dia terlihat begitu bebas, akan tetapi itu hanyalah sandiwara dunia. Ketika diikuti maka kebohongan dan kiasan selalu menjadi aura yang tidak bisa dihindarkan walau tidak terlihat dan tenggelam dalam kelam.
Dahulu aku merupakan hamba yang penuh masa lalu. Selalu terbuai akan kelamnya malam yang begitu bebas tanpa ada batasan. Sang Raja Kegelapan, rupanya sudah menang atas diriku yang tidak mengerti akan jalan hidup yang penuh kebutaan. Sang Raja Kegelapan mempunyai surga-surga dunia yang tidak dapat aku tolak, ketika hadirnya begitu menggoda, aku langsung hanyut terbawa bahkan tenggelam bersama nirwana buatannya.
Ternyata surga yang kudapat merupakan pemberian dari Sang Raja Kegelapan. Aku telah lama mejadi tawanan, dan menjadi mainan boneka cantik untuknya. Terasa kepalsuan yang sangat pekat hingga seluruh diriku akan penuh dengan noda-noda kepalsuan yang sulit sekali untuk dihilangkan.
***
Suatu hari, ku melihat seorang peri yang turun dari surga yang asli, surga yang benar-benar dirindukan oleh seluruh makhluk di dunia. Auranya begitu hebat teras, bahkan mampu membiasi auraku yang masih terbelenggu oleh kelamnya pemberian Sang Raja Kegelapan.
Dialah Sang Maha Dewi, dia bagaikan deburan sinar putih yang mampu menghempas hitam pekat kekelaman.
“Kenapa kau menepi, terkukuh, hingga terpojok melihatku?” Suaranya begitu lembut, mampu menenangkan jiwaku yang lirih, jiwa yang rindu akan ketenangan. Dari masa lalu, hingar-bingar, gemerlap dunia kepalsuan, yang membuat diriku lupa akan jati diri yang sebenarnya.
“Kau… Engkau… Kenapa begitu putih, bersih, bahkan aku melihatmu seperti bersinar?” Rasa dan perasaan tak dapat ku hindari dari rasa keingintahuanku.
“Aku hanyalah seorang manusia bodoh dengan berbekal sedikit ilmu, akan tetapi dengan ilmu itulah aku dapat memberikan kepada kehidupanku menjadi lebih baik.” Tuturnya dengan lemah lembut, namun begitu penuh makna. Tidak seperti yang sering kali kudengar kata-kata sombong menjulang ke langit dan lupa akan jati dirinya. Namun tetap saja, hasil dari kata-katanya tak mampu ku telan bulat-bulat, hingga menimbulkan tanda tanya yang begitu besar.
“Kenapa dia bilang, dia manusia bodoh dengan sedikit ilmu. Hemmm.” Pikirku dalam hati.
Rasa penasaran yang begitu besar, dengan kerendahan hati yang dibuatnya membuat aku lupa, dimana aku berada sekarang ini. Kepakan sayap cahayanya tercium aroma surga yang asli, surga sejati. Kenapa dia yang begitu sederhana bisa tampil begitu anggun, hingga sujudnya kepada siapa, semakin membuat otakku jadi kosong.
Aku semakin dia buatnya bingung dan bertanya-tanya, kepada siapa dia menghambakan dirinya, kenapa dia bersujud kepada yang tidak terlihat.
Setelah dia selesai melakukan aktifitas, yang terasa asing bagiku, dia berkata padaku dengan penuh keseriusan.
“Aku adalah orang bodoh, ilmu yang aku punya, hanyalah bagaikan setetes air di tengah lautan.”
Nalar pikiranku semakin tidak bisa menerima, apa yang sedang dia bicarakan.
“Tahukah kamu!! Bahwa ada Zat yang memiliki ilmu, seumpama air dilautan luas, bahkan takkan pernah habis ilmu itu pakai untuk ummatnya.”
Nah, sekarang dia bicara tentang Zat, perbincangan seperti, hanya dapat membuat terpaku, sehingga hanya mampu mendengarkannya, tanpa bisa mulutku ini berkutik, karena telah keluh semenjak tadi. Tapi yang aku tangkap adalah dia seperti membicarakan Sang Pencipta.
“Dialah Tuhanmu yang telah menciptakan alama semesta, bumi, langit dan seluruh jagat raya ini.” Ketegasan terdengar dari suara Sang Maha Dewi.
Yah, beginilah salahnya jika hidup tidak dididik dengan benar, selalu terlihat sombong dan angkuh, menjalani kehidupan hingar-bingar duniawi yang ternyata menuju kepalsuan. Hingga akhirnya mendengar suara langsung dari Sang Maha Dewi, hati ini mulai terbuka dan mengetahui kepada siapa aku harus menyembah.
Pernah kubaca buku diperpustakaan, bahwa hidup yang kujalani ini sudah hampir mirip sekali dengan tipe penganut fanatik hedonisme.
“Manusia diciptakan untuk menyembah Sang Pencipta, walaupun didunia dia berkerja mencari harta benda mengurus keperluan keduniawian, namun tetaplah harus mengingat untuk apa manusia diciptakan di dunia ini.” Sang Maha Dewi menuturkan kata-katanya kembali kepadaku yang semenjak tadi, hanya mampu tercengang dan mengempas dari lamunanku yang tidak tahu arah.
“Apa maksud dari semua ini, wahai Sang Maha Dewi?” Tanyaku heran. Tersentak tak sadar tanyaku keluar begitu saja dari mulut yang tertutup rapat, seperti membuka kebisuanku.
“Hidup dunia ini adalah tempat untuk belajar menuntut ilmu, tempat bekerja, hingga membangun rumah tangga dan carilah juga jati diri kamu. Sehingga kamu tidak tersesat dan selamat di dunia hingga akhirat nanti.”
Akhirnya kata-kata yang seperti inilah, yang aku perlukan, kata-kata dari yang penuh makna dari Sang Maha Dewi. Karena hasil dari tuntunan kata-katanya, kian lama, hidupku makin terarah dan menjadi lebih baik, masa lalu yang begitu kelam, telah aku kubur dengan penyesalan yang begitu hebat bergejolak dalam dirimu.
Seringkali dalam kesendrianku, terbawa oleh lamunan masa laluku. Aku sering dibuatnya menangis, hingga membuat mataku lebam, meratapi bekas hasil perjalan hidupku, yang sebenarnya adalah sia-sia belaka.
Kini ku berjalan maju ke depan, ke arah yang lebih baik, menuntut ilmu kepada Sang Maha Dewi, dengan pemberian kata-kata yang penuh makna, kini telah mampu ku maknai sedikit demi sedikit.
“Tak ada kata terlambat bagi hamba yang mau bertaubat.” Ucap Sang Maha Dewi, membuat hatiku tenang dan nyaman.
Hadirnya Sang Maha Dewi, dapat menghapus air mata hasil kekelaman, karena akibat dari kesalahan diriku. Kesalahan dari diriku yang sangat-sangat bodoh, bahkan sampai sekarang-pun, aku masih terkagum-kagum oleh Sang Maha Dewi, karena kulihat dirinya yang begitu pintar, tapi kenapa kepada ku saja, dia bisa bilang, kalau dia itu hanyalah manusia bodoh dan dengan sedikit ilmu.
Terbangunku dari malam yang disebut dengan Sholat Tahajud, sehingga kemudian air mataku berderai tanpa henti, mataku memerah, pipiku ikut lebam menahan mimik tangisku yang tanpa henti.
Terbukalah sudah kini, aku yang tadinya merasa pintar, ternyata hanyalah seorang yang bodoh, kini aku terus belajar dari Sang Maha Dewi, mencari pengertian dari setiap pemberian kata-kata yang sarat mengandung makna-makna yang perlu digali lebih dalam.
Inilah kisah hidupku, kisah lukisan kehidupanku dengan penuh tinta hitam, walau terkadang berwarna-warni, namun ternyata warna sejati yang harus kulukis pada kehidupanku adalah warna putih bersinar.
Salam untuk Sang Maha Dewi.
Tamat…
Cerpen Mencari Makna Sang Maha Dewi adalah cerita pendek karangan Silka Kamuning Apriza. Kategori Cerpen Kehidupan. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.