Nama ku Dinda Sari, ya teman-temanku selalu memanggilku Sari, dan ada juga yang iseng memanggilku Saripati, memang aku mempunyai perasaan yang jengkel terhadap mereka yang sengaja merubah nama pemberian orang tuaku, jelas-jelas nama itu hadiah terindah dari orang tuaku.
Saat itu aku baru mengenal dunia pendidikan, aku tengah duduk di bangku SD yang tak jauh dari tempat tinggal sekaligus istanaku. Aku yang masih kecil begini hanya bisa menangis dan merintih untuk berhenti pergi ke sekolah. Aku sering dipajak oleh kakak kelas yang menurutku dia sangat jahat dengan meminta anak kecil sepertiku uang dengan paksa. Bisa apa aku selain menyerahkan uang sakuku padanya. Aku hanya bisa menangis di pojok kelas dan tak bisa membeli sesuatu pengganjal perutku.
Setelah aku sudah melewati beberapa tahapan kelas belajarku, sehingga aku duduk di bangku SMP. Ku kira semuanya telah selesai ku lewati. Ternyata, masih banyak tahapan yang harus ku lewati untuk mencapai mimpi.
Memang berat menjalani tugasku sebagai pelajar yang setiap pagi harus berangkat menuju tempat yang paling malas ku mengunjunginya. Seperti biasa, pagi itu aku pergi sekolah dengan seragam sekolahku dan menggendong tas yang di dalamnya segudang ilmu enggan ku hafalkan seluruhnya. Bagaimana lagi, ini kewajibanku sebagai seorang pelajar yang akan mengubah nasib pahitku yang selama ini selalu aku meratapi nasib itu. Yakinku dalam hati, akan mengubah kepahitan nasibku menjadi kemanisan. Bersabar dan berjuang, itulah yang ku lakukan demi segudang mimpiku yang selama ini diangan-angankan.
Meskipun aku menjalaninya penuh dengan keterpaksaan, namun dorongan semangat orang tua membuatku bangkit dan yakin akan perjuanganku. Seperti biasa, aku pergi ke sekolah sedikit kesiangan, tapi untungnya bel belum berbunyi.
Terlihat dari seberang jalan seorang teman sekelas yang bernama Azi melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya dengan tersenyum. Dia memberiku isyarat untuk aku menunggunya di seberang.
Azi menghampiriku, “Hay, selamat pagi,” sapanya padaku
“Selamat pagi juga Zi,” jawabku.
“Oh ya, ayo masuk kelas bareng, hampir telah nih.” Ajaknya padaku.
Azi menarik tanganku untuk segera berlari menuju kelas. Aku dan Azi berlari tanpa melihat sekeliling. Sesampainya di kelas, teman sekelas melihat aku dan Azi dengan tatapan yang sepertinya mereka kebingunngan.
“Ehmm cie cie…,” Gemuruh suara teman sekelas membuatku heran terhadap mereka.
“Apa si kalian, kita cuma masuk kelas bareng, udah pada heboh aja.”
“Eh ri, sensi amat jawabannya,” Ucap Gia.
“Ehemmm,” Algi mengarahkan matanya pada tanganku yang tengah bergandengan dengan Azi yang lupa ku lepaskan.
Aku kaget melihat tanganku yang menjadi sorotan teman-teman, aku segera melepaskan tanganku dan langsung duduk di kursi belajarku dengan tersipu malu. Temanku Gia, masih iseng dengan tersenyum menyinggung kejadian tadi. Aku melampiaskan rasa Maluku dengan menundukkan kepala sedikit menunduk.
Aku malu jika melihat Azi atas kejadian itu. Azi tersenyum sedikit agak membuatku merasa semangat hari ini. Setelah bel jam istirahat berbunyi, Gia mengajakku mengunjungi Perpustakaan tempat yang Gia selalu kunjungi setiap ada waktu luang. Meskipun aku malas ikut dengannya, tapi aku menghargai persahabatan untuk selalu ada saat saling membutuhkan. Gia selalu mengantarku ke mana pun ku mau begitupun sebaliknya kami adalah sahabat yang tak akan pernah berpisah, meskipun jarak memisahkan, tapi komunikasi tetap berjalan.
Aku sangat menghargainya, aku selalu merasakan dia patut tuk ku jadikan sahabat. di saat aku menyentuh buku-buku di lemari buku, satu jatuh di hadapanku, aku penasaran dan mengambil buku itu, lalu membaca judul buku itu. Ternyata buku itu adalah buku novel yang membuat aku penasaran dengan isi cerita itu. Aku membacanya meskipun hanya sebagian, sungguh ceritanya membuatku ingin selesai membacanya.
“Eh, Ri boleh aku pinjam buku itu?” suara Azi mengagetkanku dari belakang.
“Oh ya, aku baru saja membacanya, aku masih penasaran dengan ceritanya,” jawabku tak memberikan buku itu.
Wajah Azi tampak aneh melihat aku membaca buku itu dengan serius, Azi sangat aneh denganku, yang biasanya aku tidak suka membaca di Perpustakaan meskipun aku sering mengunjunginya untuk mengantar Gia. Azi sangat penasaran dengan cerita yang ku baca. Aku memutuskan untuk meminjam buku itu dari Perpustakaan ke pembimbing. Azi tambah penasaran mengapa aku sebegitu sukanya pada buku itu. Azi menungguku mengembalikan buku itu dan dia akan meminjam buku itu yang telah ku pinjam.
“Ri, ceritain dong cerita buku itu, aku penasaran banget mengapa kau begitu suka dengan buku itu? Aku nungguin kamu balikin buku itu buat ku pinjam, tapi lama,” Azi memintaku untuk menceritakan isi buku itu.
Tapi aku hanya sedikit menceritakannya dan sengaja membuat dia semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Aku memberikannya untuk dia membacanya. Entah kenapan, setelah membaca buku itu, aku jadi senang membaca di Perpustakaan itu.
Setelah Azi selesai membacanya, aku berdialog dengannya mengenai cerita itu.
“Oh ya, ceritanya menarik yah, aku paling suka bagian saat member kejutannya, dan aku ngerasa aku sedang berada pada cerita itu.”
“Benar banget tuh, sungguh menarik, aku juga suka bagian cerita itu yang sangat membuatku tersenyum sendiri.”
Aku semakin pandai mengunjungi tempat itu dan pandai membaca buku-buku yang ada disana, lama-kelamaan aku menyukai buku pelajaran yang tak hanya buku cerita saja. Di tambah dengan kehadiran kedua temanku Azi dan Gia yang membuatku pandai membaca. Aku mengunjungi tempat itu bersama mereka. Ini kebahagiaan yang sesungguhnya yang mengubah kemalasanku untuk belajar menjadi kebiasaanku dengan semangat. Aku tak lagi terpaksa untuk pergi ke sekolah, tidak lagi Ibu harus membujukku untuk sekolah, ini aku pergi dengan semangat.
Perasaan senang bercampur bingung karena ku tau bahwa temanku Gia pernah bilang.
“Pacaran akan menghancurkan mimpiku yang telah ku susun dari dulu.” Mengingat hal itu, aku tersenyum dan menolak Azi dengan kelembutan.
“Zi, aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku, aku tidak bisa pacaran sama kamu dan aku tidak mau menghancurkan mimpiku, kita sahabatan aja ya,” kataku.
Untuk saja Azi mengerti alasanku menolaknya dan kami tetap akrab dan dekat seperti biasa.
Masa-masa SMP ku dihabiskan dengan canda tawa bersama mereka sahabatku. Masa SMP ku tak seperti masa kecilku saat aku duduk di bangku SD yang sering dibuat menangis oleh temanku. Kehadiran mereka membuat semangat mengejar mimpiku tuk merubah dunia kepahitan.
Masa SMP telah berlalu. Kini, aku beranjak duduk dibangku SMA dan itu waktunya aku menunjukkan semangatku pada dunia. dorongan dan do’a orang tua selalu menyertaiku. Serta dukungan dari teman-temanku menambah semangatku.
Semua cerita masa SMP hanya tinggal kenangan semata, dimana aku harus meninggalkan mereka yang telah bersamaku dulu, sekarang demi masa depan bersama. Meski sulit ku melepaskan kenangan, tapi itulah yang harus terjadi. Karena akan tiba saatnya bertemu dan berpisah.
Cerpen Indahnya Masa Sekolah adalah cerita pendek karangan Syifa Mawadah Elpasya Symes. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.