Aku menatap iba pada sesosok tubuh kurus yang kini tengah terduduk diam sambil menatap haru pada kedua tangan dan kakinya yang sudah lepas dari rantai.
Beberapa waktu lalu, setelah disidang dan didesak di balai warga, juragan Marda mengakui perbuatan bejatnya. Butuh usaha lebih memang, kemarahan Pak Kades yang mengancam akan melempar Marda pada kumpulan warga yang tengah marah, akhirnya membuat Marda menyerah. Hingga tak lama kemudian, Marda di serahkan pada polisi diiringi makian warga yang ingin merangsek menghajarnya.
Aku yang saat itu terlibat, mau tidak mau akhirnya terseret juga untuk di jadikan saksi.
Melati sekarang memang sudah bebas, bahkan Pak Kades sendiri akhirnya menempatkan dia di puskemas ini sebagai petugas kebersihan.
Tapi segala hal tak pernah sama lagi untuk gadis itu. Korban pelecehan dan kekererasan seksual, hidupnya tak pernah menjadi mudah. Masyarakat mungkin pasti iba dan sedih pada nasibnya, tapi hal itu tak lantas bisa menghilangkan pandangan yang berbeda untuk gadis itu.
Selalu ada orang-orang yang memandangnya sebagai gadis yang sudah tak sempurna, atau tak utuh. Padahal dia hanya korban. Sedang si pelaku, mungkin malah bisa tetap makan kenyang dan tidur lelap di penjara yang kebutuhannya di jamin pemerintah. Tak adil memang.
Aku memerhatikan gadis itu lekat. Dia cantik untuk ukuran gadis desa yang bahkan tak pernah menyentuh riasan. Rambutnya hitam sepunggung, kulitnya kuning langsat mulus, wajahnya tirus, dengan dagu lancip dan hidung bangir yang memikat.
Dia pendiam. Hampir tak bersuara jika tidak di tegur lebih dulu. Aku tahu sebabnya tentu saja. Saat ini, dia cenderung rendah diri dan merasa dirinya kotor. Apalagi kadang mungkin dia harus mendengar langsung gunjingan- gunjingan orang banyak yang membahas kesuciannya.
Gadis mana yang tak akan hancur saat masa depannya dirampas dengan paksa. Tak bisa di bantah, bahwa masih banyak kaum pria di luar sana yang memasang label perawan sebagai syarat dasar calon pendamping mereka. Bahkan aku salah satunya. Tadinya…
Aku menghela nafas pelan menatap Melati yang masih menunduk menekuri lantai. Mungkin dia sedang melamunkan nasibnya.
Ah! Aku bahkan tak bisa memungkiri kekagumanku pada Melati yang tetap bisa waras dan kuat setelah di perk0sa dan di pasung secara bersamaan.
***
“Melati, kamu sudah makan?” tanyaku dengan sopan.
Sepasang mata coklat lembut itu menatapku sendu.”Sudah, Pak Dokter.” jawabnya pelan.
Aku duduk di sampingnya. Melati beringsut menggeser tubuhnya dengan risih.
“Jangan takut. Saya cuma mau ajak kamu bicara.” ucapku hati-hati.
Melati menunduk dalam dan tak bersuara lagi. Aku tahu, gadis ini sangat hancur. Di dalam sana, pasti dia tengah merangkak kepayahan untuk membangun mentalnya yang jatuh. Butuh usaha dan kesabaran untuknya.
Aku meringis. Memikirkan bagaimana sulitnya hidup gadis ini entah kenapa membuat satu sudut dalam hatiku berjengit ngilu.
“Kamu akan baik-baik saja, Melati.” ucapku pelan.
Melati menoleh kepadaku. Aku menatap mata sendu yang terlihat sedikit memerah itu.
“Aku tidak baik-baik saja. Pak Dokter pasti tahu. Rasanya…” dia menggantung ucapannya yang sarat akan kepedihan.
“Apa yang kamu rasakan?” tanyaku lirih. Entah kenapa rasa ngilu itu sekarang semakin tajam terasa di hatiku.
Melati terdiam, lalu menggeleng pelan. Dia menunduk lagi tak bersuara.
Aku menarik nafas panjang. Ada rasa sesak yang menghimpit dadaku.
“Marda sudah dihukum. Jadi giliran kamu untuk bangkit. Jangan nilai buruk diri kamu, Melati. Semua memang tidak bisa di putar ulang untuk di cegah. Tapi setidaknya, kamu bisa berusaha menyembuhkan diri kamu sendiri.” ucapku dengan lembut.
Melati menatapku dalam. Lalu seulas senyum cantik terukir untuk pertama kali di wajahnya. Aku tertegun. Gadis ini cantik sekali. Saat tersenyum, ada lesung pipit dalam di pipi kirinya. Tak heran, Marda sampai kehilangan kewarasannya demi bisa memiliki gadis ini.
“Aku tahu. Tapi… Melati malu. Mungkin kelak, aku tidak bisa menikah. Suamiku nanti pasti malu punya istri yang sudah kotor seperti aku.” jawab Melati sambil tersenyum sedih.
Aku meringis. Tentu saja pernikahan itu impian utama setiap wanita.
“Tidak semua orang seperti yang kamu fikir. Ada orang yang tidak akan melihat faktor fisik dari pasangannya. Berhentilah merendahkan diri kamu sendiri. Kesucian kamu di renggut, bukan kamu yang mengobralnya pada lelaki seperti para penz1na di luar sana. Itu berbeda, Melati. Bagi saya, kamu masih tetap seorang gadis utuh. Seutuh dan sesuci seorang perawan.”
Aku tertegun sendiri dengan ucapan yang terlontar dengan mudah dari bibirku.
Aku langsung menatap gadis desa di sebelahku untuk mencari sesuatu yang bisa meragukan kata-kataku sendiri.Tapi semakin aku menatap lekat matanya, malah semakin besar pula keyakinanku pada luar biasanya sosok gadis itu.
Aku menelan ludah sedikit gugup. Menatapnya terus menerus ternyata sedikit menimbulkan gempa tremor di jantungku.
Melati menatap ragu kearahku. Lalu dia tersenyum kecil. Cantik sekali. Membuatku ikut tersenyum lembut tanpa sadar.
“Iya. Mungkin kelak Melati bisa bertemu dengan jodoh persis seperti yang Pak Dokter bilang.” ucapnya pelan.
Aku mengerutkan kening. Ada suatu perasaan tak nyaman dan mengganjal saat aku sedikit membayangkan Melati menikah atau berjodoh dengan orang lain.
‘Apanya yang salah?’
ku terdiam mencoba menelisik perasaanku yang selalu terasa asing dan aneh-aneh berkaitan dengan Melati. Awalnya aku hanya merasa kasihan dan ingin membantunya.
Tapi lama kelamaan, timbul dengan perlahan perasaan ingin melindungi, membuatnya nyaman, bahkan tanpa sadar aku selalu memperhatikan keadaannya hampir setiap waktu. Aku mulai merasa khawatir, dan ada juga perasaan tak sabar jika aku terlalu lama tidak melihatnya. Semacam perasaan yang orang sebut sebagai rindu.
***
“Pak Dokter, itu di depan ada ibu yang namanya Ismaya. Katanya beliau ibundamya dokter Azka.” Rini, satu-satunya perawat yang membantuku di puskesmas memberi berita yang membuatku tercengang.
Aku setengah berlari dengan sumringah menuju wanita yang paling aku sayangi itu.
“Bunda.” bundaku yang tengah duduk memperhatikan papan struktur organisasi pegawai, menghambur ke arahku.
“Azka! Apa kabar, nak? Bunda khawatir kamu jarang kasih kabar bulan ini. Jadi bunda langsung ke kantor kamu buat lacak alamat tempat tugas kamu.” tutur bundaku lembut.
Aku meringis tak enak pada bundaku. Beliau rela menempuh ratusan kilo karena khawatir padaku. Aku benar-benar bersyukur memiliki ibu seperti beliau.
“Maaf bunda, ponsel Azka jatuh di jalan batu. Mati total. Azka belum ada waktu buat ke pasar buat service.” jawabku sambil tersenyum.
Bundaku mengeleng-gelengkan kepala karena gemas dan kesal. Aku tersenyum saja melihatnya.
Aku membawa bunda ke ruanganku. Saat aku masuk, aku melihat Melati yang tengah merapikan sampah kapas dan perban yang tadi sedikit berceceran.
Aku tersenyum kecil melihatnya. Dia memakai kaos panjang hitam hari ini. Membuat binar kecantikannya semakin terlihat saja.Dia tersentak kaget saat berbalik dan menemukan aku dan bundaku berdiri di belakangnya.
“Selamat pagi, Pak Dokter!” ucap Melati gugup.
Aku tersenyum lembut. “Mel, kenalkan. Ini ibu saya.” ucapku entah karena angin apa langsung terfikir untuk mengenalkannya pada bunda.
Melati tersenyum sopan dan berjalan menghampiri bunda, lalu dia mencium tangan bundaku dengan hormat.
“Senang bertemu dengan Ibu Dokter Azka. Saya Melati, warga yang sudah di tolong Pak Dokter.” kata Melati dengan lembut.
Hatiku menghangat melihatnya. Bundaku tersenyum ramah menjawab sapaan gadis cantikku itu.
Tak lama, Melati pamit meninggalkan aku dan bunda berdua.
“So, siapa dia?” tanya bundaku tiba-tiba.
“Namanya Melati, Bun. Kan udah kenalan tadi.” jawabku.
Bundaku menyipitkan matanya. “Maksud Bunda, dia siapanya kamu?”
“Hah?” tanyaku panik tiba-tiba. Bundaku memang terlalu mengenal anak-anaknya.
Bunda menaikkan alisnya sambil menatapku tajam. Aku tergagap salah tingkah di depan beliau.
“Itu… Azka suka Bun sama dia. Ah! Mungkin sudah cinta.” jawabku pelan dan hati-hati. Bagaimana pun beliau bundaku, dan punya hak cukup besar untuk tahu segala hal tentangku.
Bunda mengangguk-ngangguk dengan wajah berfikir. “Keluarganya gimana?” tanya bundaku serius.
Aku menahan nafas gugup. Bersiap-siap mengatakan hal penting lainnnya, yang aku tahu pasti akan di tuntut Bunda untuk tahu saat ini juga.
“Dia yatim piatu dari usia sembilan tahun…” aku menarik nafas lagi untuk menenangkan jantungku.
“Dan?” tanya bunda menyelidik.
“Daaan… Dia korban perkosaan yang Azka tolong di hari pertama Azka di desa ini.” jawabku sambil menatap bunda.
Mata coklat bunda membelalak lebar. Mulut beliau terbuka karena terkejut hebat.
“Apaaa?!” teriak Bundaku tak tanggung-tanggung.
***
Part 03 end. Cerpen Bunga (Perawan) Part 03 adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Romantis. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.