Home > Cerpen Romantis > Bunga (Perawan) Part 04

Bunga (Perawan) Part 04

“Mel, boleh minta sesuatu?” tanyaku serius.

Melati mengangguk bingung. “iya. Ada apa, Pak Dokter?” tanyanya lembut.

 “Kalau saya minta kamu ikut berjuang demi kita, kamu mau?” tanyaku tanpa ragu.

Melati terlihat terkesiap, lalu dia tampak diam dengan wajah tak terbaca. “ kenapa dokter pilih Melati?” tanyanya pada akhirnya.

Bunga (Perawan) Part 04
Bunga (Perawan) Part 04

Aku tersenyum lembut padanya. “Kenapa saya gak boleh pilih kamu?” tanyaku balik.

Melati tersentak, lalu terlihat resah. “Dokter tahu kenapa. Saya beda.”  Ucapnya sendu.

 “Ya, kamu berbeda. Itu yang membuat saya terjerat dengan cepat dan dalam.” Jawabku sambil menatap dalam ke arahnya.

Aku menatap Melati yang kini menunduk semakin dalam. “Jadi… apa saya harus berjuang sendiri, Mel?” tanyaku pelan.

Melati tergagap karena pertanyaanku. “Melati tidak berani. Banyak hal yang membuat saya tidak pantas bersanding dengan dokter.” Jawabnya lirih.

Aku mendesah pelan. “Saya sudah bilang, jangan nilai buruk diri kamu, Mel. Saya mau kamu dengan semua hal yang kamu miliki. Entah itu masa lalu kamu, asal usul kamu, saya anggap itu juga bagian yang harus saya cintai dari diri kamu.” Jawabku tegas.

Melati menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Saya tidak sebanding dengan dokter. Jangan kecewakan orang tua dokter.”

Aku tertegun. Sedikit bingung dengan ucapannya. “Tunggu! Orang tua saya?” aku berfikir keras tentang itu. “Maksud kamu bunda saya, kan?”

Melati terdiam sambil memilin ujung kaus belelnya. Dia mengangguk pelan.

Aku terhenyak. Seperti dugaanku, bunda bergerak cepat. Entah apa yang sudah dilakukan beliau pada Melati. Tapi sepertinya itu cukup serius, karena sudah tiga hari ini Melati cenderung menghindar dan bersikap formal padaku. Dan itu cukup menyakitkan dan sedikit membuatku marah.

Aku membuang nafas frustasi. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta, dan aku harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Bundaku bukan orang yang suka merendahkan golongan tertentu, tapi aku tahu kalau beliau pasti memegang erat tradisi keluarga kami soal memilih pasangan. Yaitu aturan keras yang diterapkan kakekku ‘Carilah yang sepadan. Dalam pendidikan, fikiran, dan juga kedudukan.’

“Oke. Kalau begitu, tolong jawab saya dengan jujur! Kamu janji?”

Melati mengerutkan keningnya bingung, lalu menganggguk menyanggupi.

“Saya jatuh cinta sama kamu. Dan ini bukan perasaan main-main. Saya yakin saya mau kamu untuk ada di hidup saya, masa depan saya, bahkan di saat tersulit sekalipun.”

Melati tersentak. Matanya membelalak lebar. “Bagaimana bisa?” tanyanya gugup.

“Jangan bertanya, Melati. Sekarang kamu jawab, apa kamu juga cinta sama saya?” tanyaku sambil menatapnya tajam.

Melati tergagap dengan pipi yang merona tiba-tiba. Dia menggigit bibirnya lalu menunduk  dalam.

“Jawab yang jujur, Mel! Kamu sudah janji.” Desakku tak sabar.

Melati terlihat menarik nafas panjang, lalu wajahnya mendongak balas menatapku. Dia terdiam, entah jawaban apa yang kutunggu dari wajah sedih dan mata berair itu.

“Maaf… tapi Melati juga cinta sama dokter Azka. Cinta sekali. Rasanya sampai sesak dan bikin saya serasa mau gila.” Jawab Melati dengan suara begitu pelan.

Aku ternganga tak percaya mendengar jawaban mengejutkan gadis yang kucintai itu. “Kamu… serius?” tanyaku dengan suara bergetar karena lega dan terharu.

Melati mengangguk pelan. Wajahnya menunduk semakin dalam. Aku tersenyum kecil melihatnya, pasti sekarang wajahnya merah sekali.

‘Ya Tuhaaan… aku sangat mencintai gadis tak sempurna ini.’ Ungkapku dalam hati.

Aku tersenyum-senyum konyol sekarang. Rasanya luar biasa. Hatiku membuncah bahagia hingga rasanya aku ingin berteriak-teriak sambil berlari untuk mengungkapkannya.

Aku maju selangkah. Kupandangi sekali lagi gadis cantik di depanku. Tak bisa menahan diri, akhirnya aku menggenggam tangan kurus gadis yang kucintai itu dengan erat.

“Temani aku berjalan, Melati. Jalan kita terjal. Kalau kamu percaya aku, maka berjuanglah bersamaku. Cintai aku sebanyak apapun yang kamu bisa. Aku butuh kamu di setiap kesulitan kita nanti. Kamu mau kan?”

Melati terisak. Dia balas menggenggam tanganku dengan lembut dan juga gemetar. Dia mengangguk mantap. “Aku sudah percaya padamu, bahkan sejak awal aku melihatmu.”

Aku tersenyum lembut padanya. “ Kamu memang pantas untuk kucintai, Melati.”

Melati tersenyum kecil dengan wajah tersipu.

***

Aku mencengkram pinggiran sofa mewah yang kududuki. Di depanku kini berjejer ayah, bunda, dan kedua kakakku. Mereka terdiam dengan wajah kaku dan tatapan mata menyorot marah dan kecewa ke arahku.

“Jangan tolol, nak. Fikirkan baik-baik! Seorang istri itu kau nikahi bukan untuk setahun dua tahun, lalu bisa kau ganti saat kau bosan. Menikah itu sebisanya hanya akan selesai saat kau mati nanti.” Suara tegas ayahku membuatku menunduk dan sedikit menciut di tempatku.

“Azka tahu, yah. Azka yakin, Cuma Melati yang Azka mau.” Jawabku mantap.

Bundaku terdengar mendengus tak suka. “Bunda yakin perasaan kamu itu cuma kasihan, Ka.” Ucap bundaku menekankan.

“Bukan, bun. Azka sudah menelaah berkali-kali. Azka cinta Melati, bun. Sangat.” Jawabku sendu.

Mas Andaka, kakak pertamaku terdengar berdehem pelan dan membuatku memandang ke arahnya.

 “Dia sudah tidak perawan, dek.” Ucapnya.

Aku menganga tak percaya mendengar ucapannya. “Aku ini cari istri, mas. Bukan cari perawan untuk ditiduri. Melati itu masih suci bagiku. Dia tak pernah di jamah pria.” Protesku dengan suara bergetar menahan marah.

“Dia sudah dijamah, Azka. Kamu tidak lupa kan fakta itu kan?” kakak keduaku, Arimbi ikut angkat suara.

Aku menggeleng sambil tersenyum kecewakearah mereka. “Dia dinodai, mbak. Dia bukan penzina. Dia bukan wanita yang kehilangan kehormatannya dengan dalih cinta.”

Ayahku menghela nafas panjang. “Iya. Kami tahu. Hanya saja… Bagaimana dengan nama baik keluarga besar kita, nak? Apa kata orang nanti?” Tanya ayahku.

“Apa kalian menganggap bahwa derajat Melati tidak sama dengan kita? Tolong jelaskan, apa hal yang bisa membedakan kita dengan Melati sampai dia di anggap tak sepadan denganku?” tanyaku tegas.

Hening. Aku menatap tajam keluargaku satu persatu.

“Dia tidak punya apa-apa,dan juga bukan siapa-siapa, Azka.” Bundaku berucap dengan pelan.

Aku sangat kecewa mendengarnya. “Kalau bunda lupa, kita pun tak punya apa-apa. Harta itu titipan, bun. Sebanyak apapun kita kumpulkan, tak akan kita bawa mati. Kita juga bukan siapa-siapa, bunda. Nama baik yang kita bangun bertahun-tahun, tak akan berguna saat kita mati nanti.” Jawabku dengan halus.

“Tak ada yang salah dengan Melati. Dia sama seperti kita. Hanya nasib yang menempatkan dia di sisi yang berbeda dari kita. Kita hanya sedikit lebih beruntung dari dia, bunda.  Materi dan kedudukan tak boleh kita pakai untuk merasa jumawa atau malah merendahkan orang lain. Bunda sendiri yang mengajarkan kami tentang itu.”

“Berfikirlah. kapanpun nasib bisa berputar. Bisa saja kelak kita yang ada di posisi orang-orang seperti Melati. Kalau itu terjadi, siapkah kalian untuk ditolak juga seperti yang sekarang kalian lakukan pada Melati?” tanyaku tegas.

Mereka terdiam dan tampak sibuk dengan fikirannnya masing-masing.

Mas Andaka terkekeh di kursinya. “Sial! Kau memang pintar.” Ucapnya geli.

Ayahku masih terdiam berfikir keras. Bundaku terlihat pasrah dan tak terlihat ingin membantahku lagi.

“Apa dia juga mencintaimu, nak?” Tanya ayahku tiba-tiba.

Aku mengangguk yakin. “iya, tentu saja.”

“Cinta saja tidak cukup untuk menikah sampai mati, nak. Apa lagi yang kau punya?” Tanya ayahku tajam.

Aku menghela nafas panjang. “Kami belum punya apa-apa, ayah. Karena kami bahkan belum memulai apa-apa. Melati tak ingin kami terikat tanpa restu dari kalian. Dan dia akan mundur kalau kalian tak bisa menerima kami.”

“Mundur? Apa segitu mudahnya dia melepas kamu?” celetuk bundaku sinis.

Aku tersenyum kecil. “Lalu bunda maunya bagaimana? Apa bunda maunya Azka yang lepasin kalian?” tanyaku tajam.

Bundaku terkesiap dan menatapku dengan marah. “Jangan coba-coba, Azka!”

Ayahku membuang nafas kasar. “Bawa gadis itu kemari! Secepatnya kalau bisa.”

Aku tersentak kaget mendengarnya. “Kalian setuju?” tanyaku sumringah.

“Tentu saja tidak.” Jawab bundakuketus.

Aku mendesah putus asa dan terdiam menahan sakit di hatiku karena kecewa.

“Belum, nak. Bawa saja dia kemari! Kami ingin melihat gadis seperti apa yang bisa membuatmu rela mendebat keluargamu untuk pertama kali.” Kata ayahku tegas.

Aku tertegun. Masih ada harapan. Perjuangan kami belum selesai. Ternyata Melati yang akan jadi penentu nasib cinta kami akhirnya.

Aku memejamkan mata dan dalam hati merafal do’a dan permohonan pada Tuhan.

“Besok. Aku akan membawa calon istriku pada kalian.”

 ***

Part 04 end.

Cerpen Bunga (Perawan) Part 04 adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Romantis. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.

Silahkan Share Artikel Ini:

About Tia Lestari

Hanya orang biasa, yang mencoba membuat berbagai macam cerita pendek

Check Also

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa - Image by Pixabay

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa

Mentari bersinar kembali pagi ini, membangunkan setiap insan dari lelapnya malam. Tapi Sang Mentari, tidak …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *