Hembusan angin malam yang begitu lembut, selembut sutera, menemani kesendirianku yang tinggal di suatu desa terpencil, dengan rumah berada di atas bukit, bahkan menatap rembulan saja sudah dapat membuat ku menjadi riang gembira, wajah malam selalu saja membuat ku banyak untuk merindukan seseorang, mencoba merenung wajah dan tokoh seseorang, menginginkan penggapain harapan, sehingga seperti biasa untuk setiap harinya dan malam demi malam yang kulalui terasa begitu indah dan begitu merindukan.
Rianty adalah namaku, namun seringkali dipanggil Rie, seorang gadis desa yang selalu mendambakan seorang pria idamannya yang tak pernah kunjung hadir untuk melebur duka lara kerinduan akan sosoknya, sehingga selalu merenung pada malam hari dengan terus menatap wajah malam dengan harapan rembulan memberikan keajaiban, hingga terkadang renunganku terasa begitu menyesakkan.
Seperti biasanya di pagi dan hampir setiap hari aku turun bukit, untuk berbagai macam keperluan, salah satunya adalah ke sekolah dan terkadang selesai pulang sekolah seringkali membantu ayah dan ibu, begitu juga jika hari libur, sebuah kegiatan rutinitas yaitu bercocok tanam, bahkan banyak juga hal lainnya seperti ke pasar untuk berbelanja.
10 menit dari rumah, aku sudah terbiasa berjalan kaki mencapai pertigaan lalulintas jalan raya untuk menunggu mobil angkot. Ketika sudah selesai pulang dari sekolah, aku bergegas naik angkot untuk pulang. Sesampainya di pertigaan, turunku dari mobil angkot dengan agak sedikit penat, karena memang jamnya pulang anak sekolah dan angkot-angkot sudah ada menjadi rebutan anak-anak sekolah sehingga menjadi penuh sesak. Ku langkahkan kaki ku, dengan sedikit agak gontai, mungkin karena tugas ku di sekolah yang agak banyak hari ini, sehingga membuat badan lumayan ku cape dan sedikit agak pusing.
Jalanan itu letter S. Hingga suatu ketika…
“Owh… astaga… tidakkk…”, dalam sekejap mata, ada sosok pria bermotor dan nyaris menyerempetku, hingga membuat wajah ku pujat, badan gemetaran bercampur kesal. Aku duduk sebentar untuk mencoba meredam rasa kaget dan ketakutan ku, napas ku terengah-engah, kaget tak terkira terhadap hal yang hampir saja membuat kehilangan nyawa.
Namun, siapa sangka, ternyata pria yang tadi mencoba ingin meremukkan ku datang kembali kepada ku.
“Hai… maaf ya, maaf tadi aku lepas kontrol, terlalu kencang mengendarai motor ku, sehingga tikungan S ini membuat aku oleng dan hampir saja menabrakmu…”. Ucapan pembelaan dari pria itu sambil turun dari motornya.
Aku melototinya, memandangnya dengan penuh kebencian, kata-katanya tidak begitu kudengar, namun yang pasti ingin sekali aku meneriakinya, agar dia tahu bagaimana rasanya tadi aku hampir kehilangan nyawa.
“Kamu tuh, ya… naik motor pakai mata, sudah tahu jalanan menikung kayak gini, masih saja ngebut, nanti kalau aku ketabrak gimanaaa?” Ucap kekesalanku yang teramat sangat dan semakin membara.
“Aku minta maaf banget, sorry ya… terus aku harus gimana? Aku kan sudah minta maaf. Ok gini ajah, apa yang harus aku lakuin, agar marah kamu bisa reda… sehingga dapat menghapus rasa salah aku kepadamu?” Pria membuka jaketnya, meletakkanya di atas motor beserta helmnya.
Dan kulihat wajahnya, owh… pria itu tampan sekali, tak kusangka setiap malam-malam perenunganku yang selalu kunyatakan selalu indah, dapat mengalahkan indahnya sore hari ini dengan hadirnya pria yang sangat tampan juga gagah, bercampur dengan rasa yang ingin kuledakkan setiap kata-kataku untuk memarahinya, namun kini agak sedikit tertahan.
“Hey… kenapa kamu malah melamun” ucap pria itu, sambil memegang pundak ku.
Astaga, rasa apa ini. “Iihh… kamu apa-apan sih, pakai pegang-pegang segala”, sambil kuhentakkan kedua tanggannya, namun diriku sendiri merasakan adanya getaran yang langka, rasa yang baru kali ini kurasakan, entah kenapa… seharusnya mau melanjutkan kemarahanku, namu kini malah merasakan adanya rasa lain, bahkan aku dibuatnya menjadi terpesona oleh wajahnya yang tampan. Tak kuasa aku menahannya, hingga lariku dari hadapannya, menanjak ke atas bukit tempat peraduanku. Teriakkan laki-laki beberapa kali terdengar, hingga akhirnya aku hilang di hadapannya karena lebatnya pohon-pohon yang rimbun.
Desiran angin malam kali ini agak sedikit berubah dan berbeda, menjadi belaian yang menyelimuti tubuhku dengan sedikit kerinduan akan hadirnya waktu itu, bahkan wajah malam ku lihat begitu cerah, ditambah bintang-bintang yang berkelip, seakan memberikan tanda-tanda kepadaku, tentang kerinduanku kepada pencarian seseorang yang selama ini, hanyalah bayangan saja. Kini yang kurasakan, bukanlah bayangan lagi, namun hampir seperti nyata.
Kenapa hembusan angin malam kali ini, sepertinya membiusku, akan dilema rindu.
Malam semakin larut, sudah waktunya tidur ku untuk bangkit kembali esok pagi buta. Bantal guling kesayanganku, sepertinya sudah lama menunggu ku.
Lelah dan cape ku dan ditambah kejadian yang campur-aduk, membuat ku tak kuasa menahan rasa kantuk, yang semenjak tadi kurasakan membelenggu diriku.
Semilir angin malam, sayup-sayup membelai raga ku, seakan membisikan sesuatu, tentang aku dan pria itu.
Ayam berkokok…
Di pagi buta ku bangun, dan menjalankan aktifitas seperti biasanya, mulai menjalankan rutinitas, yaitu berangkat ke sekolah seperti biasanya. Di dalam sekolah kurasakan waktu begitu cepat hingga akhirnya lonceng berbunyi seakan memanggilku untuk cepat pulang ke rumah.
Setelah turun dari angkot, langkahku sedikit agak kikuk, karena takut dan masih agak trauma akan kejadian yang kemarin.
Di tingkungan itu, ada sosok seorang pria dengan motor di sebelahnya. Dan ternyata…
“Hai apa kabar? Gimana kabarnya apa kamu baik-baik saja, kamu sehat-sehat saja kan?” Ucap pria itu.
“Biasa aja kali, nanyanya kok borongan gitu, trus aku harus jawab yang mana dulu?” Ulahku dengan sedikit agak mempermainkan gaya bicaranya.
“Iya, maksudku, dengan kejadian yang kemarin, kamu enggak papa kan”. Ucapnya lagi, seakan menegaskan pertanyaan yang belum tuntas akan jawabannya.
Badannya sedikit agak mendekat padaku. “Aku… aku… gak papa kok, biasa aja, kemaren itu mungkin karena aku agak terguncang dan kaget, sehingga akhirnya lari meninggalkan kamu, lalu kamu disini ngapain sendirian? Udah kayak orang hilang saja…” Ucap ku, seakan mencairkan sedikit kekakuan pada perbincangan tanya-jawab ini, walaupun jawabanku sebenarnya agak campur-aduk.
“Yah, aku khawatir saja, akan kesehatanmu, takutnya kamu kenapa-napa gitu…” Dia berucap sambil menyikapkan tangganya di dada, terlihat agak kekar dia punya badan, seakaan begitu nyaman ketika ada dalam pelukannya.
“Loh… kok malah ngelamun lagi? Owh iya, aku belum tahu nama kamu, namu kamu siapa ya?” Tanya dia, sambil mendekatiku dengan tambahan satu langkah, namun entah kenapa aku jadi gemetar gini, hatiku dag-dig-dug, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya.
“Nama… nama aku Rianty, biasa dipanggil Rie, panggil saja Rie, supaya mudah mengingatnya… takut kamu lupa” Aneh, kenapa sekarang keadaan jadi berubah gini, kok jadi aku yang malah tersudut, padahalkan seharusnya pria itu menjadi bulan-bulanan dalam masa kemarahan semenjak kejadian itu.
“Nama ku… Candra, dan nama belakangku Saputra, terserah kamu, mau panggil aku apa..!!” Tangannya hanya sedikit bergerak dan kembali menyikapi dadanya. Padahal aku mau dia itu mengulurkan telapak tangannya dan meraih jari-jemari aku untuk bersalaman.
“Owh iya, aku sampai lupa, ini buat kamu, sebagai pelipur duka lara, yang semenjak kemarin sampai sekarang membuat kamu terluka”. Pria itu bergerak mengambil jaketnya di motor, dan mengambil sesuatu dari saku jaketnya.
“Apa ini?” Tanyaku agak sedikit kaget dan bingung, “Ini Coklat Toblerone Putih, sebagai tanda maaf ku, supaya kamu tidak garang lagi kepada aku ”. Entah kenapa tangan ini langsung menanggapinya dan menerima barang tersebut, tangannya kembali menyikap di dadanya. Sosok pria yang calm and cool (begitulah kalau bahasa kerennya).
“Loh kok gak bilang apa-apa?” Tukasnya sambil menatap dalam mataku, seakan sanggup menenggelamkan ku dalam pandangannya.
“Oh… makasih… Sudah dulu ya… Rie mau pulang dulu…” Entah kenapa rasanya ada yang hilang ketika aku tidak melihat wajahnya lagi dengan tatapan mata seorang pria, yang mampu membuatku tertunduk dan terpaku. Kurasakan dia masih melihatku dari belakang, hingga akhirnya ku dengar dengan sayup-sayup, suara motornya yang kemudian menghilang di telan angin kehampaan.
BERSAMBUNG…
Cerpen Dilema Rindu (Part 1) adalah cerita pendek karangan Silka Kamuning Apriza. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.