Neta. Hari ini, aku mendatanginya lagi dengan wajah berbinar. Masih berharap dengan bodoh, kelak dia yang ku puja sedikit menoleh pada hatiku yang mendamba.
“Nino, aku datang lagi! Hehe… Kamu lagi apa?” Dia menoleh sekilas padaku. Dingin, selalu wajah itu yang kutemui dari sahabatku sejak lama itu.
“Ada apa?” Tanyanya datar. Aku berjengit ngilu mendengar nada suaranya.
“Aku… kangen.” Lirihku penuh perasaan.
Nino menoleh padaku, matanya menajam tiba-tiba. “Aku… Nggak. Tiap hari kita ketemu kan?”
Sakit. Hatiku sakit mendengar ucapannya. Tak bisakah dia sedikit menyenangkanku yang selalu setia bertahun-tahun di sampingnya.
Aku membuang nafasku kasar. “Iya, kita emang ketemu tiap hari. Tapi kamu gak pernah sapa aku lagi, No.” Kataku sedih.
“Neta, kamu gak bosen? Lupain aku. Tolong…” Tersentak. Aku menatap nanar kearah pria yang kucintai. Netra coklatnya menyorot kesal kearahku.
Aku maju kearahnya, kuulurkan tanganku dan kusentuh wajahnya dengan lembut. Hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal dan kelopak matanya, lalu tanganku turun perlahan kearah bibirnya.
“Aku… cinta kamu.” Air mataku mengalir saat kuucapkan kalimat sakral yang kutahan hampir sepuluh tahun itu.
Nino menatapku dalam diam. Dia menangkup tanganku yang gemetar dengan lembut.
“Kumohon… berhentilah Neta. Jangan cintai aku lagi.” Dia berucap dengan sendu sekarang.
“Kenapa bukan aku yang kamu pilih, Nino? Aku mencintaimu sejak lama, aku di sampingmu lebih dulu.” Aku terisak perih karena ucapanku sendiri.
Nino terdiam, matanya terpejam dengan tangan masih terus menggenggam erat tanganku.
“Kamu bukan dia, Neta. Aku menyayangimu, tapi aku mencintainya, Itu berbeda.” Jawabnya benar-benar menghancurkanku.
“Sakit… Nino. Aku merindukanmu tiap hari, aku memimpikan kamu bersamaku kelak. Kenapa begini?” Aku bergetar menangis keras karena usahaku yang tak pernah berhasil.
Nino menyentuh, lalu menurunkan tanganku yang masih menyentuh wajahnya. Dia mengusap lembut rambutku.
“Neta, kamu tahu. Kamu adalah perempuan paling cantik yang kukenal…”
Dia menyentuh wajahku yang lembut. “Lihat wajah ini, matamu indah, kulitmu bercahaya, kamu tinggi, rambutmu indah, kamu cerdas. Kamu… nyaris sempurna.”
Aku menangis semakin keras mendengar ucapannya. “Lalu kenapa bukan aku yang kamu pilih? Cintaku besar, Nino. Bahkan cintaku lebih lama dari dia.” Rengekku putus asa.
Nino mengecup keningku dengan lembut. Aku histeris diantara tangisku. “Nino, kalau kamu pilih aku, aku akan beri kamu segalanya.”
Nino tersenyum lembut. “Kamu sudah jadi segalanya buatku, Neta. Tak pernah tergoyahkan.”
“Nino… aku cinta. Tak bisakah sehari saja kamu mencintaiku?” Aku menghiba putus asa.
“Aku sangat mencintaimu… Namun dengan cinta yang berbeda, Neta. Hatiku sudah dimiliki. Berhentilah!”
Aku menatapnya pilu, tak ada kata yang keluar dari bibirku yang gemetar. Aku hancur tak bersisa. Mataku menatap kosong kearah wajahnya yang tampan.
“Terakhir kali… Bisakah aku minta sesuatu?” Tanyaku dengan wajah tanpa ekspresi.
Dia mengangguk mantap. “Ya, apa yang kau minta?”
“Minta aku untuk pergi dari hidupmu!”
Nino tersentak. “Jangan… kumohon, Neta.”
Aku menantang matanya dengan pandanganku yang penuh tekad karena luka. Nino terdiam, balas menatapku dengan matanya yang sedih.
Dia menghela nafas pelan, tangannya gemetar menyentuh sisi wajahku sekali lagi. Dengan suara bergetar, akhirnya kata-kata yang bak pedang tajam bagiku terlontar.
“Pergilah sahabatku… Lupakan aku, lupakan kita. Hapus aku dari hati dan pikiranmu. Kelak, tak boleh ada satupun dari kita yang saling merindukan.”
Aku meluruh, jatuh kepelukannya dengan tangis tanpa suara. Tubuhku gemetar, tapi hatiku rasanya mati rasa karena terlalu berduka.
Menegakkan diri dengan cepat, kuhapus air mata terakhirku untuk pria itu.
“Aku pergi. Kubawa juga cintaku untukmu dan juga kenanganku tentangmu, Nino.”
***
Author pov
Delapan bulan kemudian…
Nino memandang kosong kartu undangan di tangannya. Dibaca ulang puluhan kali nama mempelai di kartu itu.
Nino & Anita
Tik!
Satu tetes air mata jatuh di atas nama kertas cantik berwarna ungu itu. Nino yang tangguh, akhirnya terjatuh. Nyaris mati terbunuh karena sesal.
Seminggu lagi pernikahannya dengan Anita, kakak kandung dari Arneta sahabat yang sudah hilang dari hidupnya.
Bukan, sekarang Neta bukan sahabatnya lagi. Gadis itu pusat dunianya, nyawanya, belahan jiwanya yang terlambat dia sadari di hatinya. Arneta pergi, tepat setelah perpisahan terakhir mereka.
Nino menangis semakin tersedu. Dia laki-laki, berubah begitu rapuh karena kebodohannya sendiri.
Dia menoleh kearah meja kecil disebelahnya, lalu tersenyum kecil menatap foto Neta yang terseyum lembut disana. Dengan tangan lemah, diambilnya foto itu lalu dia lepas dari bingkainya.
Dengan senyum lembut dan tatapan menerawang, dia menulis sesuatu di balik foto gadisnya.
***
Anita tertegun melihat tunangannya yang terlihat semakin kurus dan murung tanpa sebab. Di usapnya dengan lembut rambut lebat pria yang tengah tertidur lelap dengan kondisi kamar yang berantakkan itu.
Anita menoleh lalu melihat sesuatu yang didekap Nino dengan erat dalam tidurnya. Dia tersenyum kecil melihat wajah adik kandungnya yang kini pergi ke negri yang jauh. Tapi, senyum itu tak bertahan lama, dan pudar saat Anita membalik foto Neta di tangannya.
Aku merindukanmu… Yang dulu mencintaiku dengan begitu dalam.
Aku mencintaimu… Yang selalu menjadi yang terindah di hidupku.
Tuhan tahu, cintamu yang dalam sudah mengutukku hingga aku setengah gila.
Takdir yang kuukir membalasku telak, aku tersiksa karena terlalu mencintaimu.
Kumohon… Kembali padaku. Kutarik semua ucapanku dulu.
Jika kau di sisiku, kan kuberi kau segalanya.
Aku mencintaimu, ternyata memang hanya kamu.
Dan ku yakin akan tetap selalu kamu, Neta…
Anita membekap mulutnya menahan isakan. Dengan langkah gontai dan wajah pucat pasi, dia meninggalkan kamar calon suaminya.
Anita terdiam, berusaha mencerna semua satu persatu. Kini, dia tahu alasan adiknya pergi meski dia memohon dan mencegahnya.
Dengan tangan gemetar, dia melepas cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu di tatapnya cincin itu dengan tangis yang semakin deras.
Anita menggeleng, berusaha menguatkan dirinya sendiri yang hancur. Dengan senyum perih dia mengambil ponselnya.
***
Nino tersenyum bahagia, di depannya kini berdiri perempuan yang sudah sah menjadi istrinya beberapa menit lalu.
Dia menatap kagum. Istrinya cantik sekali, dibalut kebaya putih dengan riasan sederhana di wajahnya yang kini juga tengah menatapnya penuh cinta.
Nino menarik nafasnya yang sesak karena haru dan bahagia. Di kecupnya lembut kening istrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sangat mencintai kamu, terima kasih sudah mencintaiku yang tak sempurna ini, Neta.”
Arneta, pengantinnya tersenyum bahagia lalu mengangguk haru. “Kita bersama, Nino. Tak ada lagi yang boleh pergi. Cintai aku setiap hari, karena aku akan begitu mencintaimu.”
Nino tersenyum, lalu mengangguk mantap. Lalu matanya yang berbinar melihat ke sekeliling mencari seseorang.
Nino tersenyum lembut menatap seorang perempuan lain berbalut kebaya merah muda di pojok ruangan. Anita.
Wanita itu tersenyum, melambaikan tangan kearah mantan tunangannya yang kini bersanding dengan adiknya.
Arneta terisak, memandang penuh terima kasih pada sang kakak.
“I love you…” Ucapnya dengan isyarat untuk sang kakak yang kini juga terlihat menangis meski tetap tersenyum lembut kearahnya.
End
CerpenEternal Love adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.