“Aku cinta kamu.” Ucapku penuh perasaan pada pria tampan berkemeja abu-abu yang tengah membaca sebuah buku tebal dihadapaannya.
“Lalu?”Tanya pria yang sudah kucintai selama tiga tahun itu.
Aku merengut kesal. “Kok lalu sih? Ayo kita pacaran!” pintaku tegas.
“Maaf Lana, aku gak berniat untuk pacaran.”jawab priaku yang kupanggil Azka itu.
“Aku yakin kok kamu juga cinta sama aku.”ucapku dengan menahan perih dan kesal karen penolakan Azka.
“Maaf, tapi sampai detik ini aku belum pernah mengucap cinta pada gadis manapun.”jawab Azka dengan sopan.
“Kalau gitu, jadikan aku yang pertama! Aku gak buta Azka, kamu juga cinta aku.” Rengekku sedikit putus asa.
Azka menghela nafas panjang dan sekali menoleh padaku. Catat, hanya sekali.
“Kamu kok gitu banget sih sama aku? Kurang apa sih aku? Kurang cantik?kurang baik? Memangnya gadis idaman kamu itu seperti apa sih? Aku capek harus puas jadi temen kamu, Ka.” Campuran antara rasa sakit hati dan kesal akhirnya membuatku meledak di hadapan Azka.
“Aku bukan siapa-siapa Lan, jadi gak pantaslah harus menilai wanita ideal atau tidak menurut tipeku. Aku ini masih penuh dosa, tak akan berani berkhayal mendapat wanita istimewa. Aku hanya punya satu do’a sederhana untuk jodohku kelak. Aku ingin berjodoh dengan seorang muslimah yang mau menunjukkan dengan bangga identitas kemuslimannya. Itu saja.” Azka tersenyum lembut kearahku lalu memberi isyarat akan masuk kekelas saat melihat dosen kelasnya melintas didekat kami.
Aku terdiam sambil menggigit bibirku guna menahan tangis dan sakit hati karena satu orang itu..
Azka pergi dariku sejak hari itu. Kami bahkan hampir tidak pernah berhadapan langsung di kampus. Apalagi kami beda angkatan.
Aku yang selalu menghindar setiap kali kami hampir saja berpapasan. Aku menyerah. Aku tahu dia mungkin bukan orang yang bisa kujangkau apalagi untuk kumiliki. Tidak ada satupun fikirannya yang bisa aku tebak.
Aku akan melupakannya secepat aku bisa. Aku yakin diluar sana jodohku tengah menanti untuk kutemukan dan juga kunanti untuk menemukanku.
***
Delapan bulan kemudian…
Aku menatap bayangan seorang gadis dengan jilab lebar putih yang berusaha mengukir senyum diwajahnya. Gadis itu adalah diriku sendiri.
Beberapa bulan lalu, saat kondisi kegalauan hatiku karena terlalu merindukan Azka mencapai puncaknya, aku bertemu dengan seorang ibu yang tengah mengajar ngaji di komplek perumahanku. Beliau membimbingku, mengajariku banyak hal yang tadinya kuanggap sepele
. Setelah aku menemukan banyak pemahaman baru, akhirnya aku mengerti arti seorang wanita beserta kewajibannya yang dulu tak pernah kulaksanakan.
Mengenai Azka,aku memang masih mengingatnya dan kadang juga merindukannya. Namun sekarang, perasaan cintaku tidak sedangkal dulu yang hanya mengharapkannya menjadi kekasihku dan bisa kuklaim dia milikku pada semua orang.
Perasaanku sekarang hadir juga dalam bentuk rasa hormat dan terima kasih atas setiap hal yang mau dia bagi dulu saat kami berteman.
Azka. Terakhir kudengar kabarnya setelah lulus kuliah dia bekerja disebuah Bank di kota Bandung dan katanya dia sudah melamar seorang gadis untuk dinikahinya. Malah mungkin saja sekarang dia sudah menikah. Entahlah, aku tak ingin mencari tahu lagi agar aku bisa cepat melupakannya.
***
Aku melihat cincin emas putih yang melingkar di jari manisku dengan senyum lega. Sebuah cincin lamaran sederhana yang disematkan calon bibi mertuaku dari seorang pria yang bernama Abi. Orang tuaku sangat menyayangi calon suamiku itu.
Hari ini aku akan menikah. Dengan seseorang yang berani melamarku langsung dari ayah kandung dan juga ayah tiriku. Calon suamiku dipanggil Abi, seorang yatim piatu yang baru pindah dari Bandung yang tak sengaja berkenalan dengan ayah tiriku di sebuah majlis taklim. Lalu mengajukan ajakan ta’aruf lewat keluarga besarku dua bulan setelahnya.
Aku yang tengah menyusun skripsi di kota lain akhirnya menerima pinangan itu setelah beristikharah. Bahkan aku tak mau berepot-repot menemuinya terlebih dahulu. Aku percaya pada plihan orang tuaku. Dan hatiku juga terasa begitu mantap untuk menerimanya setelah beberapa kali beristikharah. Kami hanya beberapa kali berkomunikasi di telepon untuk membahas kesediaanku menjadi istrinya.
Sekarang aku tengah menunggu suamiku mengucap ijab Qabul di luar sana. Aku menunggu di dalam kamar yang kelak akan jadi kamar pengantin kami.
“Lana, selamat ya Nak. Kamu sudah sah sebagai seorang istri. Ayo kita temui suami kamu!”suara lembut ibuku yang selalu begitu cantik terdengar dari arah pintu kamar dan menyentakku dari lamunan tentang Azka dan juga Abi.
Aku tersenyum lebar sambil menahan haru dan bahagia menyambut status baruku. Seorang istri.
Aku melihat banyak orang di akad nikah kami hari ini. Selain keluarga kedua belah pihak, ada juga beberapa teman dan tetanggaku yang kini menatapku dengan senyum lebar.
Lalu pandanganku beralih pada sesosok pria berjas hitam yang tengah duduk berhadapan dengan ayahku dan juga seorang penghulu. Abi, suamiku.
Aku menghampirinya dengan dada berdebar kencang dan rasa haru yang hampir tak bisa kutahan. Aku bahagia. Meski bisa dibilang dia asing buatku, tapi kini dialah suamiku. Satu-satunya pria yang akan kucintai dan kuhormati sepenuh hatiku.
Aku mencium tangan suamiku dengan takjim, lalu mendongak untuk menatap wajah orang yang sudah sah menjadi imamku itu.
Deg! Ya Allah… Azka?!
Aku sontak terbelalak melihat Azka yang kini malah tersenyum lembut kerahku.
“Azka?” suaraku tercekat karena terkejut.
Azka tersenyum lalu meraih kepalaku dengan lembut. Aku merasakan kecupan lembut di keningku. Tubuhku meremang, dadaku berdebar begitu kencang dan tanpa bisa ditahan, isakan haru mulai keluar dari bibirku yang gemetar.
“Abi nama panggilan kesayangan dari kakekku, Lana.”ucapnya lembut.
Azka lalu menggenggam kedua tanganku dengan lembut.
“Lana, beginilah caraku untuk mengungkapkan cinta pada gadis yang kucintai.” Bisiknya dengan suara yang juga sedikit bergetar. Aku semakin keras terisak dengan tangan yang terus menggenggam erat tangannya yang hangat.
“Terima kasih, Ya Allah.” Ucapku penuh syukur diiringi dengan derai air mata bahagia yang tidak bisa kugambarkan.
“Aku cinta kamu, istriku.” Ucapnya dengan mata yang juga terlihat berkaca-kaca.
END
Cerpen Kata Cinta Pertama adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.