“Steffie..”
Aku mendongak ke atas dan mendapati Juanda sedang menatapku. Tatapannya sejuk seperti biasa. Rambut nya yang tersisir rapih sedikit tertiup angin dari pendingin ruangan perpustakaan ini.
Sudah jam pulang sekolah, namun aku masih berada di perpustakaan, membaca buku sambil menunggu Pak Siman datang menjemputku.
“Juan..belom pulang?”
“Aku cariiin kamu dari tadi.” ujarnya sambil membolak-balik halaman buku itu.
“Ada apa?”
“Kamu beneran pacaran lagisama Ronald?” matanya tidak menatapku, namun tangannya bergerak menutup buku.
Aku tidak terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Juan. Itu bukan pertanyaan yang asing lagi bagiku. Karena hampir setiap hari aku memperoleh pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda-beda.
“Iya.”
“Bukannya tahun lalu kamu baru putus sama dia, dan bilang kalau kamu jijik dengan dia?”
Aku terdiam cukup lama.
“Apa?” Dengan tak sabar Juanda menatapku.
“Situasi berbeda, Ju..” aku menghela nafas panjang. “Sejak kematian Hendry semuanya berubah.”
“Terus?”
“Ronald sudah berubah. Dia sudah tobat. Dan ia benar-benar menunjukannya.”
Juan terdiam beberapa saat lamanya. Tetapi ketika ia hendak membuka mulutnya, telepon genggamku berbunyi keras.
“Halo? Iya pak..saya keluar sekarang. Bapak tunggu disana ya.” Aku mematikan teleponku dan mengucapkan selamat tinggal pada Juan. Raut mukanya seperti ingin berbicara lebih, namun aku memutuskan untuk tidak memedulikannya. Percuma saja.
*
Ronald adalah mantanku. Ia juga pacar pertamaku. Dan pacar terakhirku. Ronald berkepribadian keras, dan juga cuek. Penampilannya yang acak-acakan, pandai melawan guru, dan sering membuat keributan malah membuat Ronald ditaksir oleh banyak kaum hawa. Aku masih ingat ketika seisi sekolah gencar ketika dua tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menerima tawarannya untuk menjadi kekasihnya.
Kami berdua bagaikan langit dan bumi. Tidak ada satupun sikap kami yang sama ataupun mirip. Fisik kami pun berbeda. Badannya tinggi besar atletis hingga 170 cm. Berbeda denganku yang hanya 150 cm bertubuh kecil. Aku yang pendiam, tidak terkenal sama sekali, rajin, dan selalu dekat dengan guru, bisa berhubungan dengan orang seperti Ronald.
Ada yang bilang Ronald hanya iseng menembakku. Ada yang bilang hanya prank. Ada yang bilang ini karena hasil truth or dare. Dan ada juga yang bilang kalau Ronald bosan dengan cewek berandalan. Namun sama sekali tidak kugubris gossip-gossip seperti itu. Tidak penting.
Ronald mengejarku ketika suatu hari aku pulang sekolah. Aku tertegun karena sosok Ronald yang dikenal seperti layaknya selebritis bisa memanggilku yang belum tentu dikenal oleh satu kelas.
Seragam Ronald yang sudah lecek, ditambah lagi rambutnya yang berantakan, malah menambah pesonanya. Wajahnya yang tampan, dengan tubuh atletis membuatku hatiku berdebar-debar.
“Ehm, boleh minta nomor teleponmu?” aku mengangkat kedua alisku, dan langsung menyebut sederet angka yang sudah kuhafal di luar kepala.
“Thanks.” Jawabnya sambil berlalu. Aku tak berkedip dan menatap punggungnya sampai menghilang. Lalu aku tersadar karena ponsel yang ada di kantongku bergetar.
Aku mengerut membaca pesan tersebut masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Jangan bengong disitu, nanti kesambet petir loh. –RG-
Beberapa saat kemudian, aku merasakan dadaku berdesir. RG? Ronald Gunawan? Semoga saja itu dia.
*
Sejak kejadian dimana ia meminta nomor teleponku, aku merasakan kalau ia memang sedang melakukan pendekatan padaku. Terbukti kalau ia selalu saja menelponku ketika pulang sekolah, meng-SMS ku ketika aku sedang belajar, bahkan memintaku untuk video call sebelum tidur.
Jujur, aku senang diperlakukan begitu oleh Ronald. Aku sadar, banyak cewe yang pasti iri dengan posisiku saat ini. Tapi tak kupungkiri, aku juga takut kalau ternyata Ronald hanya mempermainkanku saja, seperti kata Dita, si ratu gossip.
“Jangan percaya kata-kata mereka, aku tulus ingin berada di dekatmu.” begitu kira-kira jawaban Ronald ketika aku menyampaikan kekhawatiranku kepadanya. Inilah yang membuatku terkagum dengan sosok Ronald. Ia dewasa bila berada di dekatku. Hampir semua masalah yang kualami, aku bagikan dengannya. Aku rasa dia adalah teman sekaligus pasangan yang tepat untukku, terlepas dari sifatnya yang berandalan.
Dua tahun kami menjalani hubungan, dan semuanya lancar saja. Aku berhasil membuktikan kalau aku memang pantas untuk menjadi pendamping Ronald. Hingga pada akhirnya aku menemukan fakta yang disembunyikan oleh Ronald. Dan itu membuatku merasa terbohongi, karena ternyata laki-laki yang kucintai, sedikit hati nurani dalam dirinya pun tidak ada.
Aku menemukan Ronald sedang membully seorang anak kecil. Dan mirisnya, anak kecil itu hanyalah seoarang pengemis yang sedang mengemis meminta uang untuk membeli makanannya. Tidak hanya membully, Ronald juga menghajar anak tersebut sampai babak belur. Aku yang melihat Ronald seperti itu, semakin marah ketika mengetahui alasannya begitu simpel. Hanya karena kesal terhadap anak itu yang terus menerus meminta makanan untuk mengisi perutnya.
Saat itu juga, aku memutuskan hubungan dengan Ronald. Aku tidak peduli apapun alasannya, tapi bagiku, berdana makanan atau uang sedikit tidak ada masalah. Kalau memang tidak sudi memberi, setidaknya tidak perlu mem bully sampai memukul anak itu. Dengan hati teriris-iris dan air mata terus mengalir, aku menggendong anak kecil itu keluar dari halaman belakang sekolah kami menuju sebuah warung yang tidak jauh dari sana. Dan memberikan dua lembar 50 ribu untuk penjaga warung nasi, terserah anak itu memilih makanan yang disukainya.
Sebelum pergi, aku menatap prihatin anak itu. Tapi ketika Ronald muncul dari sekolah ke tempatku berdiri, aku langsung lari dari hadapannya, tanpa mempedulikan ia yang memanggilku terus-menerus.
Hidupku terasa hampa setelah hari itu. Tak ada lagi yang berjalan di sampingku, tidak ada lagi yang menggangguku, tidak ada lagi yang mengantarkanku pulang. Dan lagi aku harus menahan cemoohan dari berbagai pihak, yang berhubungan dengan hubunganku dengan Ronald.
Hingga pada akhirnya aku bertemu dengan Hendry. Hendry adalah sosok yang selalu bisa mengerti diriku, yang bisa menampung ceritaku, menemaniku di setiap saat, bahkan ia pun bersedia menggantikan posisi Ronald di hatiku. Aku benar-benar merasa lengkap.
Namun hidup tidak sesempurna itu. Hendry pergi beberapa bulan kemudian. Ia menderita kanker otak sejak lahir. Itu membuatku terpukul.
Dan kepergian Hendry itulah yang membuatku bertemu dengan Ronald kembali, di depan kuburan Hendry.
“Hendry adalah sepupuku, yang paling pendiam.” Jelas Ronald waktu itu. “Seumur hidupnya, ia belum pernah bertemu dengan wanita yang ia sayangi seperti ia bertemu denganmu.”
“Kenapa?” tanyaku sambil menyentuh batu nisan Hendry.
Ronald mengangkat bahu tanda ia tidak tahu, lalu ia meneruskan bicaranya. “Sehari sebelum ia meninggal, aku bertemu dengannya.Ia bercerita banyak tentang dirimu. Ia tidak pernah merasa berbunga-bunga seperti ini. Dan seperti mengetahui takdirnya, ia menitipkanmu padaku. Ia menyuruhku menjagamu dengan baik.”
Air mataku kembali menetes. “Aku..belum bisa..”
Ronald tersenyum. Dan ia menyentuh tanganku. “Tidak apa-apa. Aku tahu itu, aku hanya ingin menjagamu, seperti dulu.”
“Kamu..”
“Aku sudah berubah, Steffie. Aku menyesal dan sudah bertobat. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Maafkan aku karena sifatku yang jelek seperti itu. Aku hanya khilaf. Aku berjanji akan menjadi lebih baik lagi setelah ini.”
Aku terdiam. Bukan karena bingung. Namun aku berusaha untuk meredakan debaran jantungku. Sepertinya rasa cintaku kepada Ronald belum berakhir, malah semakin subur.Apa lagi ketika aku mengetahui kalau dirinya sudah berubah dan bertobat. Ia malah terlihat semakin keren.
Keesokan paginya di sekolah, aku bertemu dengan Ronald. Ia tersenyum kepadaku. Dan dadaku berdesir lagi. Aku menghampirinya, dan bertanya kepadanya.
“Kamu mau temenin aku ke toko buku nanti pulang sekolah?”
Ekpresi Ronald terkejut sebentar, namun sedetik kemudian ia berhasil menguasai dirinya.
“Tentu.” ujarnya sambil tersenyum.
Pulang sekolah, di toko buku itulah, aku merasa jatuh cinta kembali dengan Ronald. Dan aku memutuskan untuk menerima Ronald kembali, dan memulai segalanya, kembali.
“Terima kasih karena telah mempercayaiku. Aku akan berusaha sebaik mungkin, hanya untuk kamu.”
Aku menganguk sambil tersenyum. “Setiap orang memiliki kesempatan kedua. Tak terkecuali kamu.”
Sisa hari itu, kami lalui dengan perasaan bahagia, yang tak dapat di lukiskan dengan kata-kata, dengan harapan, Ronald bisa belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
Cerpen Kembali adalah cerita pendek karangan Avril Wong. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.