Home > Cerpen Cinta > Killing Zone

Killing Zone

“Pagi cantik!” sapaan rutin pagi hariku terdengar dengan merdu di telingaku.

Aku tersenyum lembut kearah pria tampan, tinggi dan berlesung pipi yang mencubit pipiku dengan gemas itu. “pagi juga! Kok baru dateng? Telat bangun lagi?” tanyaku dengan curiga.

Dia tertawa pelan di sebelahku, “ Yaah, begitulah. Semalem aku ngerjain tugas sampe subuh.”

Killing Zone - Pixabay
Killing Zone – Pixabay

Aku menggeleng gemas, “alesan! Kamu gak ada tugas juga tidurnya kayak orang mati.”

Dia tergelak, “kamu tuh emang ngerti aku luar dalem. Jadi makin sayang nih.”

Wajahku terasa panas seketika, jantungku berdebar cepat dengan bibir tak terasa melempar senyum kegirangan. “ambigu banget sih, pake bilang luar dalem segala. Maknanya banyak tuh.” Timpalku berusaha menjawab setenang mungkin.

Dia terkekeh pelan, lalu mengacak rambutku dengan gemas. “iyalah, semua tentang kita maknanya banyak kok. Gak ada yang biasa.”

Deg!

Aku menoleh seketika, jantungku makin keras berdebar mendengar ucapannya. Aku merona lagi dengan cepat pastinya, karena sekarang dia mengusap pipiku dengan senyum gemas.

 “Iya? Berarti kita istimewa ya?” tanyaku dengan gugup dan penasaran.

Dia tersenyum lembut lalu mengangguk dengan yakin, “bukan kita, tapi kamu yang istimewa.” Ucapnya padaku.

Aku menahan nafasku mendengarnya. Rasanya hatiku tiba-tiba meledak oleh rasa bahagia yang tak terukur. Aku menatapnya dengan jutaan partikel cinta yang terasa berkumpul dan berpusat di mataku. Entah dia melihat binar cintaku atau tidak, tapi dia tersenyum begitu lembut kepadaku.

Aku gugup, lemas, dan juga bahagia hingga lidahku kelu dan hanya bisa menatapnya. Aku tersenyum lebar karena terlalu melayang dan bahagia. ”aku? Istimewa? Waaah, sejak kapan tuh?” aku mengelak malu-malu.

Dia menarik kepalaku hingga bersandar di bahunya yang bidang, “sejak dulu. Kamu selalu istimewa, Blue.”

Aku ingin menangis, begitu bahagia mendengarnya. Bolehkah aku berharap bahwa ini akhir penantianku selama enam tahun?

 “Aku sayang kamu, Samudra.” Ucapku dengan suara bergetar.

Dia tertawa pelan, “aku juga sayang kamu. Eh, kok rasanya mellow banget kita jadi sayang-sayangan gini? Haha.”

Aku tertawa lalu mencubit pinggangnya dengan kesal, “ngerusak suasana tau gak! Kapan lagi kita manis-manisan kayak gini coba? Kamu tuh emang nyebelin akut ya!”

Samudra tertawa puas melihat kekesalanku, “kamu itu memang selalu bikin aku seneng, Blue.”

Aku tersenyum senang lalu menatapnya diam-diam. Entah harus berapa kali aku mendesah kagum melihat wujudnya yang rupawan. Aku tersenyum sendiri karena harapan yang semakin besar di hatiku.

 “Samy, kamu pernah jatuh cinta?” tanyaku penasaran, karena sejak lama hanya aku wanita terdekatnya.

Dia mengangkat alisnya heran, “kamu, lagi jatuh cinta?” tanyanya dengan wajah yang berubah serius.

Aku tersenyum kecil, “jawab aja, Saaamm!”

Dia terdiam dan tampak ragu-ragu, “ya, ada satu orang yang aku cintai. “ jawabnya dengan tatapan lembut menerawang.

Aku tersentak, di serang rasa ingin tahu yang begitu besar. “Siapa?” tanyaku dengan was-was.

Dia menoleh lalu tersenyum lembut padaku, “jangan takut kehilangan aku, Blue. Aku milikmu sedari dulu, kamu tau itu.”

Hatiku menghangat mendengarnya, “iya, aku juga milikmu. Sudah sejak lama, Samudra.” Ucapku penuh haru.

Dia tergelak, lalu mengusap kepalaku penuh sayang. Netra coklatnya menatapku begitu lama, membuatku hampir ambruk karena gugup dan lemas.

 “Kenyamanan itu langka, Blue. Dan kamu segala zona nyaman di hidupku. Denganmu aku merasa terlindungi, bahagia dan juga utuh.”

Aku tersenyum bahagia lalu menggenggam tangannya yang besar dan hangat.

 “Udah ya, geli tahu kita manis-manisan gini.” Celetuknya tiba-tiba.

Aku cemberut dan menjambak rambutnya dengan kesal, “rese! Rugi banget kayaknya manis-manisan sama aku!”

Dia terbahak sambil mengusap rambut pendeknya yang tadi kutarik dengan kejam, “rugi banget laaah, gak enak kalo gak bikin kamu menderita.”

Aku mendelik sebal kearahnya, lalu pra-pura merajuk dengan wajah beralih ke novel di tanganku.

“Blue, ikut aku yuk!” dia bangkit dari kursi taman dan menarik-narik tanganku.

Aku mengerutkan kening dengan bingung, “kemana? Kamu gak bakalan maksa minta ditraktir kayak kemaren kan?” selidikku dengan penuh curiga.

Dia tergelak lalu menggeleng, “gak lah, aku lagi baik nih. Ikut cepetan!”

Dia menarik tanganku dengan semangat dan membawaku dalam langkah yang cepat. Aku menatapnya dengan bahagia, dia sesekali menatapku dengan wajah berbinar bahagia yang sama.

Aku melambung, semakin yakin inilah akhir manis yang selalu sabar kunanti sejak lama.

 “Sam!”

Dia berhenti dan menoleh, “kenapa?”

 “Aku,,,”

 “Samudra!!!” suara teriakan menghentikan suaraku, kami berbalik kearah suara dan melihat seorang gadis  berambut panjang dengan wajah bak boneka tengah berlari kearah kami.

 “Syra!”

Ada hal yang terjadi bersamaan, tangan Samudra terlepas dariku, lalu dia berlari menyongsong gadis itu dan  menariknya kedalam pelukan yang selalu jadi milikku.

Aku terdiam, membatu dengan jantung perih tertancap pisau tak berwujud. Aku mengerjapkan mata, mengusir sengat perih di mataku yang disuguhi pemandangan yang menghancurkan.

Di depanku, Samudra-ku mengecup kening perempuan lain. Aku gemetar tersentak sakit dan bingung, berusaha meraba dan mencari lagi harapan yang tadi begitu melimpah di hatiku. Namun saat ku lihat matanya, harapan itu semakin pupus lalu musnah sama sekali.

 “Samy,,, itu,,, siapa?”

Itukah suaraku? Kenapa terdengar begitu sumbang dan jelek?

Samudra menoleh dan tersenyum lembut padaku, lalu dia menarik lengan perempuan itu kearahku.

“Blue, akhirnya hari ini dateng juga. Tadi kamu tanya tentang cinta kan? Ini Syra, pacarku. Ah tidak,, dia akan segera jadi istriku. Dan aku mau kamu jadi orang yang pertama tahu tentang ini.”

Perih, sakit, apakah begini rasanya ditusuk lalu diremukkan? Hatiku berdenyut ngilu, bahkan seluruh tubuhku terasa dingin dan mati rasa tiba-tba.

Aku tersenyum dan hanya menatap kosong pada Samudra yang kini terlihat merona bahagia di depanku.

“Syra sayang ini Blue, dia sahabat dan juga adik angkatku.”

Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang gila tanpa sebab, “adik ya, Sam?” tanyaku pelan lalu meringis sendiri mendengar nada suaraku yang aneh.

Samudra mengernyit bingung, “iyalah, kamu selalu jadi adikku yang paling aku sayang.”

Aku mengangguk pelan sambil mati-matian menahan mataku yang hampir ingin meledakkan air mata dan emosi.

“Tentu saja, aku memang adikmu, Samudra. Selamanya akan tetap begitu kan?” lirihku dengan hati perih.

Samudra terkekeh pelan, lalu mengusap rambutku dengan lembut, “tentu, selamanya kita memang kakak beradik, My Blue. Makanya aku sayang padamu”

Aku tertawa miris karena cerita cintaku yang menggelikan. Dia bertahun-tahun manyanjungku hingga aku melayang, melimpahiku dengan kelembutan dan kasih sayang. Memelukku di sela tangis dan memuja tawaku yang katanya menyegarkan.

Hari ini, akhirnya dia menunjukkan tempatku dengan gamblang.

Aku menggenggam tangan Samudra dengan lembut dengan perasaan hancur yang membuatku lemas dan butuh pegangan.

Aku mendongak, tersenyum dengan lebar kearahnya,

“Aku juga sayang padamu, kakak.”

END.

Cerpen Killing Zone adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.

Silahkan Share Artikel Ini:

About Tia Lestari

Hanya orang biasa, yang mencoba membuat berbagai macam cerita pendek

Check Also

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa - Image by Pixabay

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa

Mentari bersinar kembali pagi ini, membangunkan setiap insan dari lelapnya malam. Tapi Sang Mentari, tidak …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *