Home > Cerpen Remaja > Last Promise

Last Promise

“Dimana memangnya dia?” Tanya seorang gadis berwajah kesal berambut panjang itu. Kulitnya putih bersih yang menunjukan kalau ia sangat cantik.

“Sedang dirawat di kamar inap.” Gadis sebaya menjawab dengan nada sama kesalnya.

Last Promise - Pixabay
Last Promise – Pixabay

“Kenapa bisa seperti itu?” Lauren Tasha Winjraya bertanya lagi dengan raut wajah dingin. Dan yang menjawab pun juga ikut dingin.

“Aku tidak tahu. Aku mendapat informasi ketika Andika sudah terbaring di rumah sakit.” Jawab Anita, kembaran Andika yang kini berjalan berdua bersama Lauren menuju lantai tiga rumah sakit itu.

Saat mereka berdua sampai di depan kamar inap tujuan mereka, mendadak Lauren berhenti. Gadis cantik itu mengintip dari kaca tembus pandang berbentuk persegi panjang yang menampilkan keadaan di dalam sana. Raut wajahnya yang dingin, kini menjadi ingin menangis. Namun sang Tasha Lauren tidak pernah menunjukan kepada dunia kalau ia menangis.

“Hepatitis B, selama ini hanya diobati dengan obat pencegah virus yang akan menyerang organ tubuh lainnya. Sedikit berhasil.”

Tanpa menggubris kata-kata Anita, Lauren pun mendorong pintu itu dan berjalan ke dalam. Sosok remaja laki-laki tampan terbaring lemah di atas ranjang. Saat Lauren menatap laki-laki itu, hatinya teriris-iris. Benarkah ia orang yang sama dengan seorang remaja laki-laki yang gagah dan tampan beberapa tahun yang lalu?

Tapi ketika ia menatap hidung dan bibirnya, Lauren tahu, ia tidak salah orang. Meski kulit dan bibirnya berubah menjadi warna sedikit kuning, tapi Lauren tahu ia Andika yang sama.

“Ngapain lo disini?” Suara Andika tiba-tiba terdengar. Lauren sedikit bergeming, namun beberapa detik setelah itu, ia kembali menampilkan raut wajah dinginnya.

“Lo yang ngapain disini? Ngapain lo tidur-tiduran di atas ranjang? Sono main terompet butut lo itu!”Jawab Lauren hampir menangis, namun sekali lagi, seorang Lauren Tasha tidak pernah terlihat sedih di mata siapapun.

“Lo ngapain urusin hidup orang? Hidup sendiri noh diurusin!” Jawab Andika lemah namun terlihat kilat kesalnya dari dalam matanya.

Anita yang melihat perdebatan dua orang itu tidak akan selesai sampai tahun depan, akhirnya menengahi.“Gue panggil dokter, lo berdua diem disini. Jangan berisik. Sini tempat orang sakit, bukan tempat berantem.”

Saat Anita meninggalkan mereka berdua, tanpa mendengarkan perintah Anita, Andika dan Lauren kembali berdebat.

“Gue kesini bukan liat lo, tapi kebetulan lewat doang!” Lauren masih saja mempertahankan ego nya meski dalam hati ia khawatir setengah mati dengan kondisi Andika.

“Kalo lewat doang, lo nggak mungkin sekarang berdiri di samping ranjang gue, bodoh!” Jawab Andika lagi tanpa melirik gadis cantik yang kini berdiri di sampingnya. Andika memang sering bersikap kasar pada Lauren, padahal Lauren sendiri tidak pernah dikasari oleh siapapun termasuk orang tua nya. Dan herannya, Lauren sudah terbiasa dengan sikap Andika yang tidak pernah ramah padanya.

“Ya suka-suka gue lah mau jalan kemana, kaki juga kaki gue!” Jawab Lauren lagi seperti ia memang tidak pernah kehabisan akal berdebat dengan Andika.

Tanpa menjawab lagi, Andika memalingkan wajahnya ke jendela. Lauren yang putus asa, hanya bisa menghempaskan bokongnya di kursi yang disediakan disana.

‘Gimana kabar lo? Gimana kabar lo? Gimana kabar lo?’ Plis, Lauren, tanya ke dia. Plis.

Namun yang terjadi nyatanya Lauren hanya terdiam dan Andika yang terus cuek dengan Lauren.

‘Lo nggak berubah.’ Plis, Dika, bilang ke dia. Plis.

Tapi yang terjadi hanya keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Pintu terbuka pelan, dua orang suster datang untuk mengantarkan obat dan mengganti jarum infus Andika. Saat melihat Andika bersikap ramah terhadap dua orang suster itu, entah mengapa hati Lauren sekalu lagi teriris-iris.

‘Kenapa lo nggak pernah ramah ke gue? Sedangkan gue tahu sifat lo baik ke semua orang, kecuali gue.’ Plis, keluarin uneg-uneg lo, Lauren!

‘Bertahun-tahun lo tetep bersikap kayak gitu, gue tambah kesel ama lo.’ Jujur ke dia, Dika. Jujur aja!

Tetapi sekali lagi yang terjadi hanya keheningan, yang membuat dua-duanya semakin tersiksa.

***

Empat tahun yang lalu…

Lauren Tasha Winjraya, kalo kamu nggak tahu dia, cari saja gadis cantik, tinggi, putih, berwajah lonjong, poni miring dan berambut panjang pirang di antara gadis-gadis pemain basket di SMA Raja Ratu Karya. Matanya yang sipit mirip orang Jepang menjadikannya paling mencolok di kalangan perempuan maupun laki-laki.

Mulanya Lauren tidak mengenal Andika, siapa itu Andika, dari kelas mana dan bagaimana penampilannya. Tapi Andika mengenal Lauren. Sekali lagi, siapa yang tidak kenal Lauren?

Suatu hari, SMA Raja Ratu Karya menggelar sebuah pentas seni. Di acara tersebut, setiap kelas diwajibkan untuk mengirimkan minimal satu orang kandidat untuk tampil di panggung. Baik itu nyanyian, tarian atau permainan musik. Saat hari pentas seni itu tiba, Andika maju sebagai pemain Saxophone. Ia memainkan 3 buah lagu dan semuanya adalah lagu yang dibenci Lauren. Bukannya penyanyinya yang dibenci, namun lagu itu ketika dimainkan dalam alat musik Saxophone lah yang Lauren benci.

Saat lagu Somewhere OverThe Rainbow dimainkan, Lauren hafal persis bagaimana rasanya ketika lagu itu dimainkan dalam Soprano Saxophone. Dalam nada yang lembut, Lauren tenggelam dalam permainan Andika. Tapi rasa benci itu kemudian muncul menjadi-jadi saat banyak tepuk tangan yang Andika dapatkan saat tiga lagu selesai.

Saat itu juga, Lauren mencari tahu nama orang yang memainkan lagu itu. Butuh waktu yang lama untuk mengetahuinya karena pemain Saxophone itu tidak terkenal di sekolah.

Beberapa hari kemudian, Lauren mengetahui kalau namanya adalah Andika. Hanya Andika, tidak ada nama panjang yang benar-benar menyusahkannya mencari keberadaan laki-laki itu.

Tetapi saat takdir bermain, Lauren menemukan Andika sedang bermain Saxophone nya di ruang musik kecil yang tidak terpakai lagi di sekolah itu. Ruang musik itu gelap, tidak ada ventilasi udara, hanya sebuah lampu kuning yang menerangi tempat itu. Ruang musik lainnya yang terpakai yang digunakan terletak di panggung sekolah, sehingga ruangan itu sendiri dilupakan.

Andika sedang meniupkan Saxophone nya, memainkan lagu yang Lauren tahu dari salah satu lagu Stephen Bishop, dan itu lagu yang sama didengarnya beberapa tahun lalu, di suatu tempat. Bedanya kali ini tidak diiringi oleh permainan drum.

Saat Lauren sedang berdiri di ambang pintu, mengintip ke dalam, seorang gadis manis bertubuh kecil keluar dari pintu satunya dalam ruangan itu. Dan alunan lagu tersebut pun terhenti.

“Bagus banget! Itu lagu apa?” ujar gadis itu riang, ia duduk di kursi samping Andika yang sedang memegang Saxophone nya.

“Hmm, coba tebak. Ini lagu dari Stephen Bishop.” Jawab Andika sambil mengelus rambut gadis itu.

“Aku tidak tahu siapa itu Stephen Bivop.” Jawab gadis itu dengan mulut mengerucut.

“Stephen Bishop, bukan Bivop.” Koreksi Andika sambil tertawa.

“Aku tidak peduli, lanjutkan saja permainanmu.” Gadis itu memeluk manja lengan Andika, dan Andika tertawa. Lagu pun dimainkan kembali sampai selesai.

“Aku suka lagu ini karena bawaannya santai, tapi sedih.” Ucap Andika sambil meletakkanSaxophone nya hati-hati. “Akan kuberi tahu judulnya dan alur mana lagu itu.”

It Might Be You, Curved Soprano.Jawab Lauren dalam hati.

It Might Be You, dimainkan Curved Soprano. Coba kamu buka Youtube, dan tonton cover Desmond Amos, ia salah satu pemain Saxophone favoritku.”

Gadis manja itu tersenyum manis, lalu ia menjawab, “Baiklah, aku akan menonton semua cover nya.”

Andika tertawa sambil mengacak rambut gadis itu.

Saat itu, Lauren tersadar kalau perasaan aneh itu menyusup dalam relung hatinya. Dan ia tahu, itu bukan perasaan bahagia. Melainkan perasaan benci. Keperihan itu datang lagi. Seperti tidak bisa terhapuskan.

***

Lauren, yang kini masih berada di rumah sakit, masih duduk di samping ranjang Andika. Andika tetap saja tidak berbicara dengan Lauren. Hatinya masih berdebar keras, dan keringat terus membasahi telapak tangannya. Dari pagi, gadis itu duduk terus mematung disana, itu membuat Andika kesal.

 “Mau jadi patung, lo? Nggak usah disini, gue males liat muka lo.” Andika berkata ketus pada Lauren. Seperti tersadar dari lamunannya, Lauren berdiri dan ia melihat makan siang Andika yang terletak di atas meja, belum tersentuh sama sekali. Tanpa berpikir panjang, gadis itu membuka plastik yang membungkus piring dan mangkuk kemudian mulai mengambil sendok.

 “Itu makanan gue.” Ucap Andika. Namun Andika terdiam saat Lauren menyendokkan sendok berisi nasi ke mulutnya. Tanpa berpikir panjang, Andika menerima suapan demi suapan itu.

Dalam keheningan itu, baik Lauren atau Andika, terus sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai makanan habis, belum sepatah kata pun keluar dari mulut Lauren.

Setelah membereskan piring-piring kotor, Lauren bergegas pergi. Gadis itu tidak sekuat yang Andika kira. Yang terjadi adalah Lauren menangis di toilet umum rumah sakit itu. Ia pun tidak kembali lagi ke ruang rawat Andika. Sia-sia Andika menunggunya hanya untuk mengucapkan terima kasih.

 ‘Dia masih benci sama gue…’

***

Empat tahun yang lalu…

 “Apa sih maksud lo keluarin gue dari ekstrakulikuler musik? Apa hak lo?” Andika mencegat langkah Lauren saat gadis itu berjalan ke arah tempat parkir. “Apa cuma karena gue sering minjem alat-alat musik sekolah? Itu nggak masuk akal!”

Lauren membalikkan tubuhnya menatap Andika tenang. Satu-satunya alasan ia meminta guru musik mengeluarkan Andika dari ekstrakulikuler musik hanya karena ia tidak suka Andika memainkan Saxophone nya terus-menerus, dan lagu-lagu itu ia mainkan hanya untuk gadis yang sama, setiap harinya. Cemburu? Tidak. Ia benci. Karena lagu yang ia mainkan adalah lagu yang sama setiap hari, yang membuat Lauren muak. Meski ia tahu ia yang salah. Salahkan dia yang setiap pulang sekolah selalu mampir ke ruang musik kecil itu, dan mendengarkan musik yang sama terus diputar.

Tetapi di samping itu, Lauren hanya ingin berteman dengan Andika. Sungguh. Ia ingin Andika bermain Saxophone di rumahnya saja. Mengajarinya lagu-lagu klasik, karena dari dulu ia sangat ingin bermain lagu itu.

Namun saat Lauren hendak menjelaskan, Andika keburu kesal dan pergi dari tempat Lauren berdiri. Belum sempat Lauren mengejar, gadis berambut pendek itu menghampiri Andika, dan mengelus pundak Andika yang terlihat sedang emosi sambil melemparkan tatapan benci pada Lauren.

Lauren tahu, harusnya ia yang membenci Andika. Karena laki-laki itu yang membuat luka lamanya yang belum kering kembali disiram oleh air garam. Sedangkan yang Lauren lakukan saat ini adalah seperti orang bodoh. Dibenci balik oleh orang yang ia benci.

Keesokan harinya, Lauren tidak menemukan Andika dalam kelasnya. Banyak yang mengira Andika izin karena sakit, tapi setelah seminggu tidak masuk, Lauren tahu kalau ini pasti berhubungan dengan dikeluarkannya dirinya dari ekstrakulikuler musik. Merasa bersalah, ia bertekad untuk membuat Andika masuk kembali dalam klub yang ia sukai. Ia akan memulai dengan cara lain untuk berteman dengan Andika.

Lauren mendatangi rumahnya. Namun ketika suara aliran Saxophone terdengar dari dalam rumah, dengan rasa penasaran, gadis langsing itu menemukan Andika yang sedang bermain Saxophone, dan alat itu terlihat baru. Suara yang dihasilkan dari alat itu juga merdu, terlihat kalau harganya bukan murahan.

Berarti untuk apa Andika marah kalau ia dikeluarkan dari ekskul musik? Tidak memiliki akses untuk berlatih? Bohong besar. Karena pemandangan di depannya jelas sudah menyatakan jawabannya.

Andika tersadar ada Lauren disitu. Laki-laki itu hanya berdiri terpaku menatap Lauren tanpa menjelaskan arti dari semua itu meski Andika tahu kalau banyak sekali pikiran berlalu lalang di benak Lauren.

Gadis manis berambut pendek yang belakangan Lauren tahu kalau ia hanya sahabat Andika, tiba-tiba berdiri di sampingnya.

“Ini semua gara-gara kamu.” Ujar gadis itu.

Lauren menggeleng tidak mengerti.

“Andika jadi harus menguras uangnya sendiri untuk membeli Saxophone baru untuk dirinya berlatih. Padahal uang itu uang warisan untuk kuliah.”

“Janice!” suara Andika mengingatkan gadis bernama Janice itu untuk berhenti.

“Tapi untung saja aku berhasil membatalkannya. Saxophone itu dibeli dari uangku. Kamu memang tidak pernah tahu betapa tersiksanya orang yang berada di bawahmu. Dasar anak orang kaya!”

“Janice! Sudah!” Andika berjalan menuju Lauren berdiri, namun matanya sama sekali tidak menatap Lauren, sedetik pun. “Biarkan dia pulang.”

Saat itu juga, Lauren ingin menghilang. Harga dirinya untuk berteman sebagai seorang teman yang biasa untuk Andika pun hilang. Lauren meninggalkan rumah itu dan bertekad tidak akan berhubungan lagi dengan orang bernama Andika.

***

Dokter sedang memeriksa keadaan Andika saat Lauren datang. Dokter muda itu bersikap segan pada Lauren, dan ia pun menyingkir setelah kegiatannya selesai. Lauren mengucapkan terima kasih dan menaruh beberapa bungkus plastik di atas meja dekat ranjang Andika.

“Ngapain lo bayarin tagihan rumah sakit semua? Kan gue nggak minta.” Andika masih saja bersikap ketus pada Lauren. Lauren membalikkan tubuhnya dan menatap ngeri keadaan Andika saat itu. setiap hari semakin lemah.

“Bisa nggak sih lo sehari aja nggak usah kayak gitu sama gue? Gue cape harus pura-pura nggak denger semua ocehan lo yang nggak bermutu itu.”

“Terus kenapa kalo ocehan gue nggak bermutu? Mulut juga mulut gue. Yang salah itu telinga lo, kenapa denger ocehan gue terus.”

Lauren menggelengkan kepalanya dan ia pun memutar kembali tubuhnya ke meja, mengambil pisau dan mengupas sebuah apel merah. Selesai memotong menjadi potongan-potongan kecil, Lauren membawa piring berisi apel itu ke Andika, membantu menyuapi apel-apel kecil itu ke mulut Andika. Dengan lahap, laki-laki itu memakan habis semua apel yang disuguhkan Lauren.

“Nyar hue hayar sehua uang yang hue hinkem.”

“Lo nggak usah ngomong, dasar omongan nggak bermutu.”

“Aha heh?” mulut Andika yang penuh dengan apel menyulitkannya untuk berbicara.

“Diem. Telen dulu semuanya.”

 “…”

Lauren meletakkan piring kosong di meja dan mulai membuka plastik lainnya.

“Lo tau gue sakit apa?”

“Tau.”

“Gue kan udah mau mati, harusnya elo seneng.”

“Tau aja.” Jawab Lauren cuek.

“Apa? Lo seneng gue mati?” tanya Andika memastikan.

Lauren terdiam. Sesungguhnya hatinya tidak ingin seperti ini. Ia lelah hanya karena melihat Andika terus berbaring di atas ranjang seperti ini, seperti tidak memiliki semangat hidup sama sekali.

“Apel nya lagi, dong.” Andika melahap habis seluruh apel yang dipotong oleh Lauren, dan ia menginginkan lebih. Kebetulan apel yang dibawa oleh Lauren adalah salah satu jenis apel yang mahal.

Tanpa bersuara, Lauren kembali memotong lagi apel merah yang dibawanya kemudian menyuapi Andika lagi. Dalam benaknya, banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanya kepada pemuda tampan yang selama ini membuat hatinya berdebar-debar. Tapi apa daya, pasti akhirnya ia dijawab dengan jawaban kasar lagi. Ia terlalu letih untuk mengimbangi sikap Andika yang selalu seperti ini. Ia hanya ingin berada terus di samping Andika, kalau bisa untuk selamanya.

Sambil menguyah, Andika terus memperhatikan Lauren. Gadis cantik ini tidak pernah berubah dari 4 tahun yang lalu. Selalu menawan, selalu manis, dan ia memiliki mata yang indah. Tidak heran dari dulu ia terus dikejar oleh murid berjenis laki-laki di sekolah dulu.

“Udah kenyang? Masih mau lagi?”

Andika menggeleng dan ia menghela nafas panjang. “Lo..ehm.. entar gue ganti biaya rumah sakit nya.”

Lauren tertawa dan berdiri. “Lo tahu gue nggak butuh uang itu. Lo yang selalu bilang gue kelebihan duit ‘kan? Nah lebih baik uang itu buat bayar rumah sakit ini. Nggak usah deh ya.”

“Sombong lo belom hilang.” Dengus Andika tanpa menatap Lauren.

Lauren mengangkat kedua bahunya. “Lagian gue tuh mau tahu lo itu kenapa bisa jadi kayak gini.”

“Nggak usah tahu.”

Lauren menahan amarahnya yang tiba-tiba datang. Entah terbuat dari apa hati manusia itu.

“Kalau emang nggak ada urusan lagi, gue mau tidur.” Andika memutuskan untuk memejamkan matanya kemudian membalikkan tubuhnya menerbelakangi Lauren. Sesungguhnya laki-laki itu hanya tidak dikasihani oleh perempuan cantik itu. Ia malu. Iatidak pantas berada di dekat Lauren. Itu sebabnya ia selalu bersikap ketus pada Lauren hingga pada akhirya gadis itu lelah dan memutuskan untuk menjauhinya.

***

Empat tahun lalu…

Hujan. Tapi tidak benar-benar terjadi.

Yang terjadi justru panas terik matahari terus menyinari langkah Lauren di lapangan basket sekolah. Kejadian itu sudah seminggu lebih berlalu, dan entah mengapa ia sungguh sakit hati dengan perlakuan Andika dan Janice. Padahal dibilang kenal saja tidak. Lauren bisa saja pura-pura lupa dengan Andika, toh ia bukan siapa-siapa.

Suasana sudah lumayan sepi saat Lauren melangkah menuju kantin. Namun gadis itu terkejut mendapati Andika berdiri tepat di hadapannya saat ini. Remaja laki-laki itu menatap Lauren tanpa ekspresi. Mulutnya tertutup rapat, tapi tangannya menarik Lauren pelan. Ia mengikuti Andika entah kemana perginya, dan yang sekarang terjadi hanyalah perasaan berdebar-debar di jantungnya. Entah mengapa, tapi Lauren merasa ia senang ketika tangannya digenggam erat oleh Andika.

Sesampainya mereka di ruang musik gelap tempat Andika biasa bermain saxophone, Andika melepaskan tangannya.

“Waktu itu ke rumah, ada apa?” tanyanya dengan suara serak.

Lauren terdiam. Ia meneliti seragam acak-acakkan yang dikenakan oleh Andika. Demi apapun, ia masih terlihat sangat tampan.

“Ehm… nggak ada apa-apa.”

Andika mengangguk. “Ada alasan kenapa lo ngeluarin gue dari ekskul musik?”

Lauren tergagap. Ia belum menyiapkan alasan yang lebih baik dari waktu itu. “Eh. Itu karna… karna…”

“Lo iri karena gue bisa mainin semua musik sekolah dan menganggap semua alat musik di ruangan ini adalah milik gue?”

“…”

“Gue kasih tahu, Lauren. Lo nggak perlu iri sama gue hanya karena gue bisa pakai semua alat musik disini. Nggak ada gunanya lo sirik sama gue. Toh gue yakin uang bulanan yang lo punya cukup untuk beli alat-alat musik ini.

“Kalau memang alasan itu, bodoh. Sangat bodoh. Dan sekarang, kepala sekolah pun udah nggak izinin gue untuk main musik disini lagi. Ini konyol. Gue akan pindah sekolah, gue harap di sekolah baru nanti, gue nggak akan nemuin murid macam lo lagi. Yang kepo sama urusan orang, yang bahkan nggak dikenal!”

“Bukan itu maksud gue!” Lauren mencoba untuk membantah namun sayangnya, Andika sudah terlanjur pergi. Sia-sia ia mengejar, karena ia tahu Andika tidak akan percaya dengan alasannya.

***

“Hepatitis B, bisa sembuh total, ‘kan?” tanya Lauren pada dokter David, spesialis internis terbaik di rumah sakit ini. Dokter tua itu mengangguk, namun Lauren tahu raut wajahnya tidak yakin.

“Akan kami usahakan, Ms. Lauren.” Jawab Dokter David.

Lauren mengangguk, ia tidak punya pilihan lagi. Keadaan Andika bukannya membaik, malah memburuk. Ia tidak mengerti kenapa ternyata banyak sekali penyakit yang diderita oleh Andika. Kemarin ia baru mendengar dari Anita, kalau Andika menderita penyakit liver juga.

Gadis itu mengeluh, tapi ia tidak terlihat sedih. Ia harus menyembunyikan perasaannya sebaik mungkin. Dengan langkah mantapia kembali ke kamar Andika, mendapati laki-laki itu sedang menatapnya saat ia berjalan mendekat ke ranjang.

“Minggu depan jadwal lo operasi transpalasi hati. Lo mesti kuat, baru bisa mainin terompet itu lagi.”

“Gue nggak mau main terompet itu lagi. Nggak guna, toh lo juga nggak suka ‘kan?” Andika menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan Lauren yang sekarang berdiri di samping ranjangnya.

“Siapa..siapa bilang?”

“Elo yang ngeluarin gue dari ekskul musik dulu, perlu gue ingatkan?”

Lauren menghela nafas, “Lo udah tahu itu bukan maksud gue.”

“Iya, tapi alasan yang lo beri nggak masuk akal sama sekali.”

Lalu mereka terdiam untuk beberapa saat.

“Kalo lo berhasil ngelewatin ini, gue janji gue akan terus berada di samping lo.” Lauren berusaha menatap Andika. “Makannya lo harus yakin kalau lo bisa ngelewatin operasi kali ini.”

Andika masih saja terdiam. Sesungguhnya jantungnya terus berdebar kencang. Mengapa harus Lauren yang mengatakan itu? Itu sama saja akan pelan-pelan membunuh jantungnya.

“Gue pulang dulu, nanti gue bakal balik lagi.” Sia-sia Lauren menunggu jawaban dari Andika, ia memutuskan untuk pulang dan berberes. Malamnya, ia akan kembali kesini lagi.

***

Sesungguhnya Lauren lelah harus berpura-pura tidak peduli seperti ini. Ia tidak ingin menyembunyikan perasaan lebih lama lagi, tetapi ia hanya takut. Ia takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila ia menyatakan perasaan sejujurnya kepada Andika. Laki-laki yang selalu menolaknya, dari dulu.

Empat tahun lalu, Lauren hampir berbaikan dengan Andika. Lauren tidak tahu apakah mereka akan menjadi pasangan kekasih waktu itu, bila kejadian itu tidak terjadi. Kejadian itu, sederhana. Tapi cukup menorehkan luka yang membekas pada Andika.

“Dia Rayhan, kan?” tanya Andika saat berada di ruang musik rumah Lauren.

“Iya. Kok kamu punya foto dia?” tanya Lauren heran saat Andika menunjukkan foto di layar ponselnya.

“Nggak perlu tahu, yang jelas, mulai hari ini aku nggak perlu datang lagi kesini untuk ajarin kamu musik.” Sehabis berkata itu, Andika berlalu dari ruang musik meninggalkan Lauren sendiri. Lauren yang saat itu sehabis merapikan partitur musiknya, terkejut. Sia-sia ia mengejarnya karena Andika berlari cukup kencang.

Beberapa hari setelah itu, Lauren baru tahu kalau Rayhan lah yang melarang Andika untuk datang ke rumah Lauren dan mengakui dirinya sebagai tunangan Lauren.

“Rayhan bukan tunangan aku, Dika!” Percuma Lauren mengejar Andika di sekolah barunya, karena yang ada ia ditatap aneh oleh murid-murid sekolah yang lain. Sejak saat itu, Andika semakin susah untuk dicari. Entah kemana ia bersembunyi, yang jelas Lauren hampir tidak dapat menemukan jejaknya.

Lauren ingat, sampai lulus SMA, masalah hubungannya dengan Andika terus menggantung seperti ini. Sampai pada hari Andika datang langsung ke rumahnya.

“Dika!” teriak Lauren senang. Namun Andika hanya menatap Lauren datar.

“Aku tahu Rayhan bukan tunangan kamu, tapi dia adalah calon suami kamu. Minggu depan resepsinya, ‘kan? Maaf aku nggak bisa datang.”

“Dika..kamu tahu ini bukan mau aku, ‘kan? Selama ini aku hanya hidup karena uang dari keluarga Rayhan. Kamu tahu sendiri ayah dan ibuku sudah membuangku dari aku lahir, ‘kan?”

“Aku tahu. Selamat atas pernikahanmu dulu kalau begitu.” Setelah mengatakan itu, lagi-lagi Andika meninggalkan Lauren sendiri. Percuma Lauren mengejarnya, karena itu menyakitkan.

Lauren tertawa dan ingin menangis secara bersamaan ketika memikirkan kejadian empat tahun lalu. Ini semua bukan salah siapa-siapa. Lauren tidak akan menyalahkan siapapun.

Sesampainya di rumah sakit, gadis cantik itu melangkah menuju kamar Andika. Namun, sesampai disana, Lauren heran karena para dokter dan suster berkumpul disana. Ia melihat Anita berdiri diluar ruangan sambil terisak. Beberapa orang yang berdiri di samping Anita yang tidak dikenalnya, semuanya mengucurkan air mata. Apa yang terjadi?

Sedetik kemudian, Lauren tersadar akan semua ini. Andika? Kemana dia?

***

Batu nisan abu-abu disana tampak masih basah. Artinya hujan baru mengguyur taman pemakaman umum ini. Beberapa kelopak bunga berwarna warni masih terlihat segar diatas tundukan tanah cokelat itu.

Satu tahun sudah berlalu, tapi janji terakhir Lauren pada Andika tidak pernah ditepati. Begitu sederhana, begitu meyakinkan. Namun entah susah sekali dilakukan. Lauren tersenyum pada laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Tangan laki-laki itu terus mengelus perut Lauren yang membesar. Ini anak pertama mereka.

Lauren berjongkok dekat dengan batu nisan itu, merabanya pelan.

“Udah lima tahun.”

Laki-laki itu menatap istrinya dengan berbagai macam perasaan, tapi hanya satu kata yang ia tahu, cinta.

“Rayhan, kamu tahu. Aku selalu menyayangimu seperti kamu menyayangiku. Makasih udah selalu nemenin aku, makasih udah melindungi aku. Aku janji, aku akan terus datang kesini, seperti janjiku kepadamu, dulu.”

Lalu wanita cantik itu menatap suaminya yang masih berjongkok di sampingnya. Laki-laki itu memiringkan kepalanya karena merasa heran istrinya terus melihatnya seperti itu.

“Apa?”

“Kamu ingat janji apa dulu yang pernah aku lakuin bareng kamu?”

Andika menggelengkan kepalanya.

“Aku ingin bernyanyi di saat kamu memainkan saxophone nya. Tapi itu nggak pernah terjadi, suaraku jelek banget!”

Mereka berdua tertawa.

“Kamu tahu apa perasaanku di rumah sakit dulu pas saat kamu koma?”

“Apa?”

“Aku hanya berpikir, aku belum menepati janji untuk bernyanyi itu. Nggak mungkin kamu pergi meninggalkanku, di saat aku belum bisa bernyanyi, ‘kan?”

Andika menggenggam tangan Lauren kuat. “Aku nggak akan meninggalkanmu lagi. Sampai kapanpun, apapun alasannya.”

Lauren mengangguk. Ia kembali menoleh pada kuburan di depannya. “Rayhan pernah mengatakan hal serupa. Tapi itu bukan janjinya kepadaku seorang saja.”

Andika mengangguk, mengerti akan apa yang dimaksud oleh Lauren. Wanita itu menghela nafas panjang. “Tapi itu sudah berlalu, walau bagaimanapun, Rayhan pernah menjadi bagian dari hidupku.

“Tapi kamu juga harus menepati janjimu. Aku ingin mendengarkanmu menyanyi, sekali saja.” Jawab Andika setelah terdiam beberapa lama kemudian. Lauren tertawa, dan mengiyakan. “Nanti, di rumah saja. Asal kamu nggak pernah tinggalin aku lagi, I will do everything to keep my last promise.”

END

Cerpen Last Promise adalah cerita pendek karangan Avril Wong. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.

Silahkan Share Artikel Ini:

About Avril Wong

Logo-Penulis-Cerpen
A 98's Kid who has written 4 novels, rejected 12 times by publisher and now trying to be an online writer with a wish that my works can be loved by readers. My Short Story List: 1. Oreo, Novel, dan Cokelat (Media Kawasan, September 2018) 2. Kau Sudah Sukses, Nak! (Cerpenmu.com, Juni 2017)

Check Also

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa - Image by Pixabay

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa

Mentari bersinar kembali pagi ini, membangunkan setiap insan dari lelapnya malam. Tapi Sang Mentari, tidak …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *