Home > Cerpen Remaja > Melinda

Melinda

Melinda Mewince melindamewince@gmail.com 17 November 2017   

ke saya

Hai Yoso! Haha! Gue tahu lo pasti kaget begitu dapat email ini. Apa lagi dari cewe cantik macam Melinda Mewince. Ya, nggak? Jujur? Jujur, nggak?!

Melinda - Pixabay
Melinda – Pixabay

Gue nggak akan bikin email ini dengan suasana mewek atau nangis-nangis seperti di novel-novel. Aduh, tolong yah. Hidup gue nggak seperti di novel. Hidup gue bahagia-bahagia aja dari awal sampai akhir, jadi nggak ada yang menarik untuk dijadiin cerita.

Tong, tong, tong. Inget suara itu? Yep! Itu suara tong sampah tua yang gue bunyiin pas ada di depan rumah lo kalau lo nggak angkat telepon gue. Gue nggak suka kalo lo nggak angkat telepon gue. Jadi ya, gue samperin ke rumah lo.

Tapi gue bete deh pas ada si Anissa juga berdiri depan rumah lo, bawain bubur ayam yang katanya buatan dia. What the…. Padahal gue rencana mau bawa lo ke dokter waktu itu. Habis dari dokter, gue ajak makan sate padang. Kata lo, cuma sate padang di samping kali depan kompleks gue ‘kan yang bisa nyembuhin apapun penyakit lo?

Lucu banget sih, gue mana tahu waktu itu lo udah dirawat di rumah sakit? Dan lo sama sekali nggak ngebiarinin siapapun ngasih tau ke gue apa yang sebenarnya terjadi sama lo. Gue berasa jadi cewek bodoh karena gue yang terakhir kali tahu keadaan lo. Salah siapa sih disini?

SD, pertama kali gue ngerjain lo. Dengan cara mengadu ke guru kalo lo yang mengacak-ngacak rambut gue yang baru aja dikepang karena sebentar lagi gue nari di panggung pertujukan sekolah. Padahal waktu itu lo justru yang bantu gue rapiin rambut gue karena habis dijambak sama si Valley. Lo marah, haha. Ya jelas, lah. Tapi sejak saat itu gue makin seneng ngerjain lo, apa lagi bareng temen-temen yang lain.

SMP, gue pacaran sama Reno. Gue nggak ngerasa lo ngejauh, tapi lo tiba-tiba menghilang. Padahal SMP itu adalah masa-masa gue pengen terus ada di deket lo, tahu semua urusan lo, siapa aja temen lo, siapa aja yang suka sama lo, sarapan dan makan siang lo apa, sampai makan malam lo pun mesti gue absen. Berapa nilai matematika lo, berapa nilai sejarah lo. Tapi lo menghilang kayak tuyul.

SMA, lo muncul lagi. Tapi lo bawa si Anissa dan memperkenalkan dia sebagai cewe baru lo. Lo tau perasaan gue waktu itu? Bahagia. Karena akhirnya lo nggak jomblo lagi. Dan yang membuat gue lebih bahagia lagi adalah lo udah ngelupain gue. Lo bahkan nggak inget gue siapa padahal selama itu gue nyariin lo terus-menerus. Perasaan itu nggak bisa dijelasin, yah, jadinya gue memutar balikkan perasaan gue sendiri. Pada saat gue sedih nya nggak ketolongan, gue meng-klaim diri gue sendiri kalau gue lagi bahagia. Tapi saat gue lagi bahagia, gue akan membuat diri gue lebih bahagia lagi. That’s why, gue bilang kalau hidup gue selalu bahagia. Dari awal sampai akhir nanti.

Kuliah, gue ngikut lo masuk kampus yang sama. Jurusan yang sama. Dan kelas yang sama. Demi memantau semua kegiatan lo. Gue nggak percaya lo bisa lupa gitu aja sama gue. Emangnya lo kena amnesia? Kayak di novel deh lo. Basi.

Lo selalu marah ketika gue ngikutin lo kemana-mana. Lo selalu risih kalo gue nanya lo semuanya. Karena apa? Karena emang itu mau nya gue.

Tapi gue tau lo peduli sama gue. Saat gue sakit, lo orang pertama yang marah-marah karena gue terus repotin lo. Saat gue nangis, lo orang pertama yang ngasih gue tissue, karena katanya lo jijik ngelihat ingus. Saat gue kesel, lo juga yang jadi tempat pelampisan emosi gue meski saat itu lo cuma duduk jauh dan pasang headset dengan lagu kenceng-kenceng. Gue cukup bahagia dengan semua itu.

Perayaan kelulusan, seharusnya diwarnai dengan senyuman kemenangan karena gue dan lo berhasil lulus bersamaan. Rasanya kayak bisa terbang tinggi dan seketika itu gue kayak di dorong paksa jatuh ke bawah tanah. Kenapa lo jahat banget, sih? Kenapa justru Anissa yang lo bawa ke acara wisuda itu dan dengan bangga dia memperkenalkan dirinya sebagai istri lo? Kapan nikahnya juga nggak ada yang tahu.

Semua orang bilang gue cewek bodoh. Banyak cowok yang ngejar gue di belakang sana, tapi kenapa gue harus nempel terus sama lo?

Haha. Udah gue bilang hidup gue bahagia kok. Dan cuma bahagia saat ngeliat lo marah-marah, ngeliat lo kesel sama gue dan berada terus di dekat lo, itu satu-satunya impian yang udah tercapai sekarang.

Dude, I’m going to marry someone next month. And I know you don’t marry Anissa. You are still single until now. How do I know? Lol. Melinda knows anything.

Gue ada di 432 Park Avenue, New York, lantai paling atas, setiap malam jam 8. Gue tunggu lo, Yoso.

***

10 Desember 2017

Stevanus Arifandi Setiyoso, ini namaku. Email itu baru saja kudapatkan begitu aku menghidupkan ponsel. Rasanya sudah satu abad aku tidak memegang benda berlayar 5 inchi ini, namun perasaanku hancur saat membaca kalimat kedua terakhir dari si pengirim. Apa benar ini mimpi? Atau sudah kenyataan?

“Arif.” Perempuan cantik berambut panjang itu menghampiri tempat tidurku. Aku memandangnya dengan wajah dinginku. “Kamu baru saja siuman, dan sudah memegang ponsel?”

“Nggak apa-apa.” Aku mengacuhkannya. Terdengar suara helaan nafas dari wanita cantik berhidung mancung itu.

“Mama sudah merencakan pernikahan kita bulan depan. Untuk konsep pernikahannya sederhana saja, aku mengingin-..”

Ucapan Anissa terpotong olehku. “Tidak ada pernikahan diantara kita, Anissa. Jangan bermimpi. Aku tidak pernah melamarmu.”

Wajah Anissa berubah mendung, detik selanjutnya ia sudah berlari menuju pintu keluar. Aku menghela nafas panjang. Bukan ia yang kukhawatirkan. Namun gadis itu. Melinda Mewince.

Ingin rasanya aku membalas pesan elektronik darinya, tapi jari dan otakku sama sekali tidak mau bekerja sama. Padahal begitu banyak perasaan yang bercampur aduk yang ingin kutuangkan dalam tulisan. Namun apa daya, setengah jam berlalu, tapi satu kalimat pun tidak mampu kuketik di layar ponsel ini. Kulirik tanggal, hari ini sudah tanggal 10 Desember. Email ini sudah dikirim dari satu bulan lalu, yang artinya aku hanya punya waktu satu minggu sebelum ia dinikahi orang lain.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kata mama, sudah dua bulan aku terbaring koma di rumah sakit, dan baru kemarin aku siuman. Aku tidak habis pikir, bagaimana gadis bodoh itu terus menungguku pada saat aku bahkan masih koma?

Tiga hari lagi aku bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Aku tidak punya waktu untuk mengurus segala tetek bengek untuk bertemu langsung dengannya. Lagian untuk apa? Toh dia akan menjadi milik orang lain juga. Aku sebagai temannya, hanya bisa berharap ia tidak segila dulu sebelum aku terbaring koma.

Dia itu, gila. Miring. Dan tidak pernah normal. Terkadang aku malah tidak bisa membedakan mana saat dia serius dan hanya bercanda. Gadis aneh, tapi unik.

***

14 Desember 2017

Suasana sebelum natal inilah yang paling kusukai. Keluargaku akan sibuk dengan semua tetek bengek perlengkapan natal. Biasanya aku akan ikut membantu, tapi dengan kondisi tubuhku yang lemah, tidak memungkinkan aku untuk berdiri dari kursi roda.

Aku menuju dapur dan menangkap pemandangan familier namun rasanya sedikit berbeda. Tahun lalu, ada Melinda yang akan membantu mama memasak di dapur. Tapi kali ini, Anissa yang berdiri di samping mama. Anissa memakai apron yang biasanya digunakan oleh Melinda. Dan ia akrab dengan mama. Sama persis seperti Melinda. Bedannya saat Melinda melihatku, ia akan menjulurkan lidahnya padaku, tidak seperti Anissa yang langsung menuju ke arahku dan memberikan perhatian yang tidak terlalu kusukai.

Aku melirik jam tanganku. Tiga hari lagi, dan ia akan menjad milik orang lain. Milik orang lain..milik orang lain…

Hatiku kembali sakit.

***

16 Desember 2017

Benarkah seseorang akan tersadar ia telah jatuh cinta bila pasangannya menghilang? Apakah ini yang dirasakan olehku? Apa yang saat ini kurasakan? Kehilangan? Atau hanya sekedar belum terbiasa?

Aku hanya rindu. Ya, rindu dirinya. Aku rindu setiap bagian darinya. Jangan tanya mengapa. Aku..aku sendiri juga tidak mengerti.

Tomorrow is the final day, dan aku harus memaksimalkan dri untuk menerima kenyataan itu. Bahwa tidak ada lagi Melinda yang selalu menggangguku, tidak ada Melinda yang selalu membuatku kesal. Semuanya.

Bila aku memiliki satu kesempatan untuk bertemu dengannya, aku tidak akan berkata apa-apa. Karena aku tahu, semakin banyak kata-kata, itu membuatku semakin susah untuk melepaskan dirinya. Ia berhak untuk berbahagia dengan orang lain, dan bukannya terus seperti ini. Ia memilih pilihan yang benar.

Tapi rasanya…

***

25 Desember 2017

Selamat hari natal. Aku berharap natal tahun ini akan membuatku lebih baik lagi. Enam hari lagi tahun baru, dan aku harus memulai semuanya dari awal. Semua baru.

“Gue pengen lewatin tahun baru di bukit yang di kampung kakek gue. Temenin gue, ya?” suara Melinda terdengar cempreng di telingaku, namun entah mengapa aku menyukainya.

“Nggak mau. Banyak nyamuk.” Sahutku judes. Dan Melinda hanya tertawa terbahak-bahak. Malam itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami berdua pasti menghabiskan waktu bersama, memandang pohon natal yang baru selesai dihias tadi malam.

“Arif, kamu melamun lagi?” suara mama menyadarkanku seketika. Aku baru sadar aku menangis sejak tadi. Oh, tidak.

Aku tersenyum pahit tanpa menjawab pertanyaannya. “Ada makanan di dapur, Ma?”

Mama tersenyum dan mengangguk. Lalu beliau mendorong kursi rodaku menuju dapur. Bau masakan yang baru matang tercium oleh hidungku. Siapa yang memasak? Anissa?

Sebuah siluet tubuh yang sudah kuhafal sedang berdiri di depan kompor. Tangannya sedang mengaduk sesuatu dari dalam panci menggunakan sodet, dan sebelah tangannya memegang sendok kecil.

Mama memanggilnya, dan gadis itu berbalik. Lalu ia tersenyum, kepadaku,

***

26 Desember 2017

“Nggak ada yang mau lo sampein ke gue, Yoso?” tanya Melinda dengan wajah tanpa rasa bersalahnya. Aku selalu membencinya bila ia sudah mulai ingin menjahiliku.

“Lo bukannya udah jadi bini orang? Nggak bagus masih jahilin cowok lain.”

Melinda hanya tertawa. Ia menatapku dengan mata jahilnya lagi, dan saat ini juga aku tahu, aku pasti dikerjai lagi.

“Gue benci lo, Melinda!”

Gadis aneh itu terus tertawa, tidak mempedulikan diriku yang menatapnya dengan marah.

“Apa susahnya sih lo bilang kalo lo cemburu? Kalo emang takut kehilangan, ya ngomong dong, sekarang.”

Aku terdiam menatapnya. Cemburu? Benarkah yang aku rasakan adalah cemburu?

Sekarang Melinda tengah berjoget-joget, merayakan kemenangannya karena ia berhasil mengelabuiku.

Ck. Lihat saja dia nanti.

Cerpen Melinda adalah cerita pendek karangan Avril Wong. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.

Silahkan Share Artikel Ini:

About Avril Wong

Logo-Penulis-Cerpen
A 98's Kid who has written 4 novels, rejected 12 times by publisher and now trying to be an online writer with a wish that my works can be loved by readers. My Short Story List: 1. Oreo, Novel, dan Cokelat (Media Kawasan, September 2018) 2. Kau Sudah Sukses, Nak! (Cerpenmu.com, Juni 2017)

Check Also

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa - Image by Pixabay

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa

Mentari bersinar kembali pagi ini, membangunkan setiap insan dari lelapnya malam. Tapi Sang Mentari, tidak …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *