Cinta yang telah diikat dalam sebuah janji. Janji yang telah dibangun sejak lama, janji yang tidak akan pernah ku khianatin. Ya. Janji yang telah mengikat dua hati aku dan dia akan selalu bersama dan menunggu. Aku dan Iqbal, telah membangun janji untuk selalu menunggu, menunggu dia kembali yang telah lama menghilang berbulan-bulan, entah kemana cintaku pergi. Tak ada kabar sedikitpun tentangnya. Bahkan aku tiap hari menghubunginya meskipun tak pernah ada balasan darinya. Aku selalu menunggunya di sebuah tempat yang telah membangun janji menunggu. Setiap penantianku hanya sia-sia untuknya, dengan setiap mengunjungi taman yang penuh kenangan bersamanya.
“Eh, Din, percuma lo tiap hari nungguin dia disini, dia gak pernah bakal kembali buat lo.” Ujar Ani padaku.
“Percuma Din, dia tak bakalan datang.” Ani memelukku dan meyakinkanku untuk menghentikan penantianku.
“Aku pokoknya tetap disini untuknya.”
Aku menuggu dengan penuh harapan agar Iqbal datang untukku. Aku akan memenuhi janji dulu akan selalu menunggu.
“Din, pulanglah kau, ngapain selalu nunggu dia.” Suara itu mengajakku untuk pulang ke rumah.
“Nggak Bu, aku ingin tetap menunggu dia, aku sayang banget sama dia.” Lirihku pada Ibuku.
Ibu terus membujukku pulang.
“Kenapa Ibu gak mengerti aku Bu? Aku sayang dia Bu.” Ibu memelukku dengan penuh kecemasan.
“Aku sayang dia Bu, aku sayang dia.”
“Dengar Din, percuma kau nunggu yang tak pasti datang, pulanglah kau, kau masih punya Ibu.” Jelas Ibu memperkuat keyakinannya untuk mengajakku pulang.
Hari begitu mulai gelap, sebuah tempat yang selalu ku menunggu dia disana tak lagi ramai orang. Ibu memaksaku pulang, aku pun pulang ke rumah dengan tetap besok akan selalu menunggunya disana dengan sebuah penantian. Hari mulai siang, malam berganti siang, aku berlari ke tempat yang tiap hariku kunjungi.
Ibu mengejarku. “Din, Dinda kembali kau!” Teriak Ibu memanggilku. Tapi ku tak menghiraukannya. Ibu tetap mengikutiku, Ibu menemaniku duduk menunggu disana.
“Din, Ibu tahu kau sayang padanya, tapi pikirkan kesehatanmu kenapa kau begini? Sadarkah kau.” Lagi-lagi Ibu menasehatiku.
“Aku tahu Bu, tapi aku ingin disini selalu.” Aku tetap dengan pendirian dan janjiku. Aku tak peduli dengan kesehatanku, aku hanya ingin dia kembali. Terlihat dari arah sampingku, seseorang berjalan menghampiriku.
Aku berlari dan memeluknya, ku kira dia adalah Iqbal, tapi bukan, aku salah orang.
“Eh, apaan ni.” Ucap cowok itu melepaskan pelukanku.
“Maaf Mas, dia salah orang.” Ujar Ibuku padanya.
“Din, dia bukan Iqbal, kau salah orang, kau telah dibutakan oleh cinta.” Ibu mendaratkan kedua tangannya pada pipiku.
“Eh, Din, aku dapat kabar tentang Iqbal, coba lo ke rumahnya.” Suara Ani membuatku bahagia.
“Oh, ya?” Aku langsung berlari ke rumahnya, tetapi Ani dan Ibu mengejarku dan menarik tanganku.
“Tapi, Din, setahu aku katanya dia…” Ucap Ani gugup menceritakan semuanya. “Dia apa Ni? Jawab!”
“Dia sudah meninggal 3 bulan yang lalu.” Jelas Ani membuatku pingsan seketika.
Setelahku sadar dan terbangun dari pingsanku, aku segera berlari ke rumahnya.
“Tok… tokk… tokkk…” Ibu dan Ani mengikutiku.
“Bu? Iqbalnya ada?” Tanyaku pada ibunya.
“Maaf Din, Iqbal sudah tiada, kamu sabar yah, Iqbal sudah tiada 3 bulan yang lalu.” Jelas ibunya.
“Gak mungkin Bu, gak mungkin, aku gak percaya.” Jawabku dengan menyakinkan semua itu adalah kebohongan.
Ibunya Iqbal mengantarku menuju tempat terakhirnya Iqbal. Aku terpuruk rapuh melihatnya. Aku jatuh dan lemas di samping kuburannya. Air mata tak lagi bisa tertahankan.
“Kenapa kau meninggalkanku Bal? Aku menunggumu berbulan-bulan menepati janjiku, tapi kau bergini.” Lirihku memeluk batu nisan yang terucap dikuburannya.
“Dinda, Dinda, biarkan dia pergi dengan tenang, berdo’alah! Dia memerlukan do’amu.” Ucap Ibu padaku. Aku tak mau pergi dari sana, aku ingin bersamanya, tapi Ibu dan Ani memaksaku pulang. Setiap hari aku mengunjunginya dengan membawa bunga untuknnya. Aku tak percaya ini, sungguh tak percaya.
“Kenapa kau pergi Bal? Aku sayang banget sama kamu, aku selalu menunggumu kembali.” Ucapanku tak lagi berharga, karena dia telah tiada, dia tak bisa menjawab semua pertanyaanku. Tapi Ibuku tak membolehkanku pergi kesana lagi tuk setiap harinya.
CerpenPenantian Sebuah Janji adalah cerita pendek karangan Syifa Mawadah Elpasya Symes. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.