Petang datang dengan pendar oranye di kaki langit barat. Jendela-jendela sudah mulai ditutup. Pelukan hangat disiapkan. Dingin menjelang.
“Selamat sore!”
Ucapan salam sahut-menyahut di jalanan kampung. Ada yang nampak lelah, ada yang merindukan rumah.
“Pulang kerja, dik Theo?” Sebuah pertanyaan dilontarkan dengan hangat. Sehangat kopi hitam yang kini tengah disesap pria itu.
Yang ditanyai melempar senyum, “Iya, Pak.”
Pemuda itu bergegas. Kiranya dia sudah berjalan agak lama, tetapi tempat tinggalnya masih cukup jauh ke tengah kampung.
Langit semakin gelap. Theo memutar jalan untuk menghindari para begundal yang mulai aktif pada gang-gang sempit. Pandangannya mulai awas. Tetangganya, pria tua yang tinggal seorang diri di rumah berlantai marmer berpesan padanya: jangan mencoba menelusuri jalan kampung yang ditutupi oleh bayang-bayang. Selalu awasi belakangmu.
Oh, Theo tak enak menyalahkan pria tua itu untuk bulu-bulunya yang sedang meremang saat ini.
Akhirnya dia memutuskan untuk singgah ke suatu kedai tidak jauh dari situ. Hanya melewati beberapa rumah dan sebidang tanah yang ditanami bunga-bunga anyelir. Lagipula, dia ada urusan yang belum dipenuhi dengan seseorang di sana.
Ini adalah Mocha. Kedai kopi yang dibangun di sebelah rumah kaca yang lampunya belum dinyalakan. Pada kaca utama kedai terpampang sebaris aksara berbunyi Cup of Java.
Mocha. Kedai modern yang mengusik nuansa tradisional kampung. Kebanyakan anak muda senang mampir untuk sekedar nongkrong di akhir pekan.
Theo memilih meja di tengah ruangan. Di bawah lampu gantung bercorak metalik. Dia mengulas senyum simpul ketika seorang perempuan berjalan padanya.
“Mau pesan apa?”
Theo diam. Sembari menahan senyumnya yang tak mau ditahan barang sejenak. Dia sudah terlalu senang bisa bertemu orang ini lagi.
“Mau pesan apa? Jangan sampai saya mengulang tiga kali,” kata perempuan itu lagi.
“Give me a cup of Java.” Theo hendak tertawa. Mereka baru saja mengulang dialog seminggu yang lalu. “Buatkan saja kopi yang kupesan sabtu lalu. Aku menyukainya. Enak.”
“Memangnya aku mengingatnya?”
“Memangnya tidak?”
Perempuan itu terdiam. Theo mesem saja melihat pegawai kedai itu berlalu tanpa meninggalkan sepatah dua patah kata pun.
“Nanti kita bicara, Oriana.” Theo menyimpan senyum.
Oriana menghela napas ringan. Dia membersihkan gelas-gelas selagi kopi dibuatkan oleh sang barista, teman kecil Oriana yang suka pakai hiasan rantai dan sebuah hoodie kuning cerah di kepalanya. Oriana tak pernah mempermasalahkan gayanya yang eksentrik, toh dia peracik andalan kedai ini.
“Pemuda itu datang lagi, Ri,” kata barista itu sembari melirik Theo yang kedapatan tengah memperhatikan mereka juga.
Oriana hanya mengangguk. Dalam pikirannya lewat sebuah kilas balik kejadian minggu lalu bersama Theo. Ah, andai saja mereka tidak pernah saling mengenal.
“Kelihatannya dia suka kamu. Dari tadi memperhatikan terus,” barista itu mendengus.
“Jangan asal menyimpulkan.”
Oriana menggerutu dalam hati. Pemuda itu mengawasinya agar dia tidak kabur, bukan? Oriana merasa terintimidasi dalam penjara batin.
Barista itu meletakkan secangkir kopi yang sudah siap di atas meja. Dia tersenyum, “Kenapa tidak coba memancingnya? Lagi pula selama ini kamu tidak pernah tertarik dengan laki-laki.”
Oriana segera beranjak mengantar kopi ke meja Theo. Dia tidak mau berlama-lama dalan pembicaraan mengenai masalah yang tidak pernah dipahaminya.
“Ini pesanannya,” kata Oriana sembari menaruh cangkir kopi putih polos itu di hadapan Theo.
Kopinya mengepul-ngepul. Theo jadi ingat simbol sebuah bahasa pemrograman yang persis sebuah cangkir kopi dengan kepulan asapnya.
Oriana berniat pergi sebelum suara Theo menginterupsi.
“Kita perlu bicara, bukan?”
Perempuan itu berpikir keras, “Aku sedang bekerja.”
“Apa masalah kita tidak lebih penting dari itu?”
Theo melipat tangannya di atas meja. Dia tersenyum puas ketika melihat Oriana membalikkan badannya dengan setengah hati dan duduk berseberangan dengannya.
“Tenang saja, hanya 10 menit.”
Oriana merengut, “Dua menit.”
“Lima menit?”
Perempuan itu menimang-nimang sebentar, “Oke. Lumayan.”
Theo tersenyum sekali lagi. Dia berdeham kemudian memulai obrolan yang sudah jauh-jauh hari dia pikirkan, “Bagaimana kabar Fahd?”
“Kamu bisa cari tahu sendiri dengan datang ke gang kumuh yang dipenuhi orang-orang macam Fahd di belakang gubuk bambu sana. Aku bahkan tidak bertemu lagi dengannya sejak itu, jadi aku tidak tahu.”
“Jadi, hubunganmu dengan Fahd ….?”
Oriana mendesah, “Aku benar-benar tidak mau tahu lagi. Dia … bahkan tidak menganggapku adiknya lagi.”
Perempuan itu terdiam. Keheningan tak terpecahkan sampai beberapa lama. Theo harus bersyukur karena suasana canggung tersebut sedikit sirna ketika alunan musik yang diputar tiap malam mulai terdengar di dalam kedai.
Tapi Oriana tetap bergeming. Sorot matanya menggelap. Tak ada lagi pancaran membahagiakan dari matanya seperti saat mereka pertama bertemu waktu itu.
Theo menatapnya lamat-lamat. Dia tidak bisa menebak apa yang kini sedang dipikirkannya. Oriana sedang melayang-layang. Sepertinya waktu lima menit yang mereka sepakati sudah tidak lagi berlaku.
Pemuda itu berdeham, “Jadi, mau kutemani bicara dengannya?”
Oriana sedikit terkejut. Dia tidak langsung menjawab. Matanya bergerak liar mencari-cari kebohongan di wajah Theo.
“Aku tahu, aku tahu. Aku ini orang asing bagimu, dan kamu pun begitu. Kita tidak saling mengenal. Tapi, Fahd itu temanku walau kami sudah lama tidak bertemu. Dan …,” Theo menggantungkan kalimatnya.
“Dan apa?”
“… aku ingin membantumu.”
Sebelah alis Oriana terangkat naik, “Kenapa mau membantuku?”
Theo mengusap kasar wajahnya, “Aku hanya merasa ini bukan hal yang benar saat kita bertemu Fahd minggu lalu dan dia hanya melempar pandangan seperti ingin mencabik-cabikmu begitu.”
Oriana mendengus.
“Memangnya kesalahan apa yang kamu buat?”
“Tidak ada. Hanya kesalah pahaman. Dia mengira aku yang melaporkan teman satu gengnya ke polisi karena memukuli seseorang dan dia curiga padaku. Aku tidak suka dituduh sembarangan seperti itu. Lantas aku marah padanya. Ibu juga. Dan … aku menyesalinya. Hubungan kami langsung seperti orang asing saja setelah itu. Tapi, tetap aja aku tak suka kalau aku yang harus meminta maaf padanya lebih dulu.”
Theo hanya mengangguk. Dia menyesap kopinya yang mulai mendingin.
“Wah, enak. Seperti minggu lalu.” Theo tersenyum senang, lalu kembali menatap Oriana, “Aku tak pernah suka kopi, tapi minggu lalu aku mencobanya. Ternyata tak sepahit yang kukira.”
Oriana mengernyit, “Lalu?”
“Aku pun jarang memulai obrolan dengan seseorang yang tak kukenal. Tapi, lagi-lagi minggu lalu saat aku bertemu denganmu, rasanya ingin saja mengobrol barang sejenak. Ternyata tidak seburuk itu untuk memulai sesuatu lebih dulu,” Theo tersenyum lalu melanjutkan, “Sama perumpamaannya dengan solusi masalahmu. Tidak ada salahnya untuk meminta maaf pada kakakmu.”
Oriana tercenung saat Theo menyelesaikan kalimatnya. Hatinya mencelos. Mungkin pemuda itu ada benarnya.
“Aku tidak tahu kalau kamu sebijak itu,” sindir Oriana, lalu dia tertawa kecil, “Kalau begitu, temani aku bertemu dengannya.”
“Siap, nona.”
Oriana tak bisa menahan senyumnya. Dia jadi punya obsesi yang sama dengan Theo; ingin selalu bicara barang sejenak. Oh, tidak. Sepertinya dia ingin punya waktu lebih banyak.
Cerpen Secangkir Kopi adalah cerita pendek karangan Adhara. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.