Gadis itu, selalu berdiri diam di pojokan lift setiap kali kami tak sengaja bertemu.
Dia selalu menunduk dan mundur perlahan seakan dengan berdiri di sudut bisa mengaburkan
sosoknya yang amat sangat mencolok.
Awalnya aku hampir tak meliriknya sekalipun.
Bahkan baru beberapa hari lalu aku tahu siapa nama panjang dan usianya.
Gadis itu bernama Indah. Satu dari tiga mahasiswi yang sudah sebulan ini magang di kantor
tempatku bekerja.
Namanya cantik dan feminim.
Tapi sial baginya, karena nama itu sering kali kudengar jadi bahan olokan banyak orang di kantor
kami.
Awalnya aku hanya penasaran karena seringnya mendengar celetukan mengejek dari beberapa
temanku.
Entah ejekan si Indah Bulat dan tidak indah, atau yang lebih parah seperti
‘Si Tahu Bulat’.
Karena kata mereka wajah gadis itu kerap kali tampak mengkilat seperti minyak kalau sedang
kelelahan.
Jahat memang. Apalagi yang mereka gunjingkan itu ternyata seorang gadis yang katanya juga
ramah dan pendiam.
Sampai akhirnya aku yang semakin penasaran jadi memperhatikan secara pribadi sosok yang
sering di gunjingkan itu.
Gadis itu ternyata sangat biasa. Tak ada make up tebal di wajah bulatnya. Hanya tampak wajah
putih bersih yang nyaman untuk dilihat. Bahkan hanya lipstik tipis berwarna alami yang menghias
wajahnya.
Dan dia…. bertubuh lebar hingga bisa juga kusebut gendut.
Tanpa sadar, aku selalu memperhatikannya yang berlari mondar-mandir karena ulah teman
seruanganku.
Kadang kulihat dia sampai berjongkok kelelahan setelah bolak balik mengantar dan mengambil
berkas atas permintaan kami.
Aku meringis sendiri membayangkan bagaimana rasanya berlari kesana kemari dengan tubuh
sebongsor itu.
Pasti terasa melelahkan.
Tapi setahuku dia tidak terdengar mengeluh.
Bahkan dia selalu dengan antusias menyerap ilmu dari beberapa karyawan senior yang tak pelit
membagi ilmunya.
Dia… ternyata menarik.
***
“Capek ya lari-lari?”
Entah kenapa hari ini tubuh dan fikiranku seolah bergerak sendiri hingga menyapa gadis gendut
yang kini tengah duduk di pantry dengan wajah lelah itu.
Indah mendongak dengan mata yang nampak sayu kelelahan.
Matanya melebar terkejut melihatku. Lalu pipinya yang bulat dan gembil sontak merona di
wajahnya yang kini tampak gugup.
Yaah.. aku memang hampir tak pernah menyapanya kecuali perlu masalah pekerjaan.
Jadi wajar dia sekaget itu saat aku sapa.
Karena kubikelku saja bersebrangan dengannya meski kami masih di ruangan yang sama.
Bukannya aku sombong. Toh, aku juga hanya karyawan biasa di kantor ini.
Hanya saja, aku memang membatasi interaksi dengan wanita di kantor yang sama untuk menjaga
kinerjaku agar tak terganggu.
“Selamat siang pak Andre!” Sapanya dengan suara yang ternyata cukup pelan dan lembut.
Dia lalu berdiri dan mendekat kearahku dengan senyum sopan yang tampak ragu-ragu.
Mataku menatapnya lekat.
Melihat wajahnya dengan rincian yang amat jelas sekarang. Dan aku tertegun.
Dia… ternyata luar biasa.
Kulitnya tampak bersih, matanya besar dan tampak berbinar hangat. Alisnya hitam tebal dengan
lengkung lebar yang masih alami.
Dan pipinya… Ya Tuhan!
Manis sekali.
Aku terpaku sendiri pada rona merah jambu yang terlukis di pipinya yang gembil dan tampak lucu.
Ah! Aku gemas melihat gadis ini.
Rasanya tanganku gatal ingin mencubit pipi yang tampak memerah seperti milik seorang balita itu.
Tanpa sadar aku tersenyum kecil dan merasa konyol sendiri.
Gila! Di kantor ini banyak wanita seksi dengan wajah lebih mulus karena dirawat dan lebih cantik,
kenapa aku malah kehabisan kata-kata hanya karena melihat gadis yang dikenal tak istimewa?
Aku berdehem untuk memulihkan wibawa dan ekspresiku.
“Sudah makan siang?” Tanyaku sedikit cemas karena dia tampak kelelahan.
Dia menggeleng pelan sambil tersenyum ramah kepadaku.
“Makan dulu sana! Ini sudah siang.” Suruhku dengan tegas.
Melihat tubuh montoknya itu kufikir harusnya dia sudah makan sekenyang mungkin.
Tapi ternyata dia malah belum makan.
“Pak Andre mau buat kopi?” Tanyanya terdengar polos.
Aku tersenyum tipis. Dugaannya tentu saja salah.
Aku kemari karena mengikuti langkahnya yang tampak gontai.
Aku khawatir padanya tanpa alasan. Setelah melihat betapa aktifnya gadis bongsor itu, aku merasa
perlu untuk tahu kalau dia baik-baik saja.
“Gak. Saya… mau lihat kamu.” Jawabku nekad.
Mata bulatnya melebar tampak bingung mendengar ucapanku.
“Eh.. itu… memangnya pak Andre ada perlu apa sama saya?” Tanya gadis itu tampak gugup.
Aku tersenyum kecil melihat kegugupannya.
‘Gila, kan? Sebenarnya aku ini kenapa?’
“Gak ada. Saya cuma mau lihat kamu.” Jawabku cuek saja.
Dia mengerutkan keningnya sambil menatapku dengan bingung.
“Kenapa?” Tanyanya pelan.
“Mungkin… saya suka kamu.” Jawabku sambil melenpar senyum tipis.
Gadis itu mengerjap tampak salah tingkah.
Aku tersenyum geli, lalu menatap wajahnya sepuasku.
Tuhan…
Dia cantik sekali.
Dalam hati aku tak berhenti mengakui hal itu berkali-kali. Lihat saja buktinya mataku hanya bisa
terpaku kearahnya sekarang.
Aku menggeleng karena terpukau saat kulihat rona cantik menyebar lagi di wajahnya.
Sudahlah. Aku menyerah kalah.
Dia terlalu istimewa untuk kulewatkan.
Terlalu indah juga untuk hanya kulihat dari jauh.
“Pak Andre bisa bercanda juga ternyata.” Ucapnya dengan senyum yang tampak kikuk.
Aku tertawa pelan. Jelas saja dia fikir aku bercanda.
Baru menyapa pertama kali aku malah bilang suka.
Masih untung sekarang dia belum lari karena ucapanku itu.
“Kamu… sudah punya pacar?” Tanyaku penasaran.
Dia tersenyum bingung lalu menggeleng pelan.
“Bagus. Saya mau kenal kamu lebih jauh.” Ucapku terus terang.
“Buat apa ya, pak?” Tanyanya tampak gusar.
“Buat jadikan kamu calon istri saya nantinya.” Jawabku mantap sambil sengaja menatap matanya
yang kini membulat syok karena ucapanku.
***
“Bisa kamu berhenti hindari saya?” Tanyaku dengan tajam pada karyawati bertubuh montok di
depanku.
Dia tersentak kaget.
“Mas, aku gak cocok sama mas.” Lirihnya dengan mata sendu.
“Apanya yang gak cocok?” Tanyaku kesal.
Dia meringis sebentar.
“Mas Andre tuh tinggi, pinter, gagah,keren. Yang cantik pasti pada mau.”ucapnya pelan.
Aku mengangguk mengiyakan dengan sok percaya diri. Padahal aku kesal dan hampir marah
padanya.
Gila saja dia! Empat bulan aku mendekatinya dengan serius dan bertujuan meminangnya, masih
saja dia minder dan tak percaya padaku.
Untung saja aku sudah cinta mati pada si Tahu Bulat yang indah ini.
“Tapi mas cintanya sama kamu.” Jawabku mantap.
Dia merengut tampak menggemaskan dan manja.
“Kok bisa? Aku kan gendut.” Ucapnya pelan.
Aku mengangguk mantap.
“Iya mas tahu kamu gendut. Mataku kan masih normal.”
Dia melotot sebal kepadaku.
“Katanya cinta, kok ngejek?” Protesnya langsung.
Aku terkekeh pelan. Kucubit pipinya yang selalu lucu itu dengan gemas.
“Cinta iya, jujur itu harus. Emang kamu mau aku bilang langsing tapi pas liat di cermin ngabisin
lahan?” Godaku sekaligus.
Mulutnya sontak menganga tak percaya mendengar ucapanku.
Dan tawaku pun pecah melihat wajahnya yang semakin lucu.
“Aku emang gak capek ngejar kamu. Tapi aku mau kita berhenti.”
Dia terdiam tampak menunduk.
“Yaudah, berhenti aja.” Ucapnya lirih.
“Kamu setuju?” Tanyaku tajam.
“Iya.”jawabnya.
Aku tersenyum diam-diam.
“Bagus. Kalau gitu dua bulan lagi kita nikah.” Kataku tegas.
Dia melotot syok kearahku.
“Apa?”
“Kalau kamu minta aku berhenti ngejar, berarti kamu harus nikah sama aku.” Ucapku licik.
“Kok gitu?” Cicitnya.
Wajahnya tampak merona.
Aku tersenyum dengan bahagia. Meski selama ini dia seperti tak memberi respon, tapi aku tahu
kalau perasaanku tak sepihak.
Aku mengangkat bahu.
“Pilihannya cuma dua. Aku ngejar kamu, atau berhenti dan langsung nikahin kamu. Dan kamu jelas
udah pilih yang kedua, cantik.”
Aku lalu berbalik pergi secepat mungkin meninggalkan gadisku yang kini masih menganga tak
percaya.
*** End.
Cerpen Simplicity adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.